Para pecundang cinta

Aku melihatnya di sana. Terkapar di antara mimpi yang pernah ia untai untuk mereka. Ia lelah, jenuh menghayalkan imajinya yang tak pernah bertepuk nikmat—dia diabaikan melebihi mimpi terburuk yang selalu dianggap angker. Lalu, waktu menyeretnya lebih dalam lagi ke liang keterpurukan bahkan menyesali dirinya yang selalu gagal menjadi idola Sang Pujaan. Ia berkisah dengan sangat tersendat dan nyaris sulit kuterjemahkan. Ia masih sering mengigau. Kadang ia melihatku menjadi Sang Pujaan. Aku terhenyak. Sesungguhnya, ia terlalu tampan untuk wajah petakku.

Hari ini, aku di sini. Timku mengatakan baginya harapan untuk hari esok di ambang kemustahilan. Aku berontak, ia masih harus tegar!

Hari itu, antara gebu dan semangat aku menyuntiknya dengan nalarku. Mengucapkan berbagai kalimat yang dibalas hanya lewat tatapan kosong. Kosong tanpa fokus, ia kehilangan fatamorgana yang seharusnya mencelikkan irisnya. Retinanya juga tak bisa mengatur fokusnya. Ia nyaris kehilangan siapa dirinya. Ia lalu menghardik, meminta sendiri dan bermain dengan teman sejatinya—imaji yang menyesatkannya dalam bius bawah sadarnya. Aku menghardik. Memberi suntikan penenang. Lalu, ia tersenyum membalas berontak impuls yang kutanam. "Sekali saja kau mengulangnya lagi, mungkin aku benar-benar gila." Ia bergumam lirih. Timku menatapku kaget. Aku tertawa. Terbahak tentunya. Kembali kufokuskan mataku padanya. Pada mata yang mulai mawas itu. Sepertinya ia mulai menyadari ia disuntik dan ia benci alat tusuk andalanku itu. "Berkomentar sebanyak yang kau bisa, akan menghindarimu dari tusukan yang hanya menghabiskan stok obatku anak muda! Tapi, harus yang membuatmu lega. Harus!" Aku memancing hormon dopaminnya bermekaran. Ia tertawa, nyaris membuatku girang. Tapi aku menahan diri. Untuk sekarang, ia menganggapku viralnya. Tak apa, asalkan nalarnya kembali responsif pada impuls yang akan terus ia terjemahkan. Ia mulai tersenyum manis.
Hari ini, dia mulai mengingat ponselnya. Nyaris sebulan terbiar di loker kantor. Aku mengambilkannya untukknya, tentunya setelah dicharge. Aku terkesima, ia menekan tombol power dan menekan beberapa digit angka. Lalu, ia menelfon seseorang—Sang Pujaannya. Sialan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

HOTS