Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2019

Tirani dan Cinta (Episode 2)

Gambar
Aku terus memacu lariku. Hingga aku mendengar suara itu. Suara yang membuatku semakin tegang. Jangan sampai aku tertangkap. Jangan sampai chip ini direbut. Aku bisa kehilangan Surti. Tidak itu mustahil.  Langkahku terhenti. Aku tiba di penghujung hutan sebelah barat pulau ini. Sebuah sungai. Sungai selebar 100 meter. Arusnya sangat deras. Permukaannya beriak ganas. Meminta apa saja segera terjatuh dan ia siap menggulumnya dalam riak-riak yang ditimbulkan kecuraman dan bebatuan besar yang tidak pernah goyah menyertai aliran derasnya.  Aku memutar engsel kakiku 360 derajat hingga badanku kurasakan melayang bagai kapas.Imaji. Surti menyambutku dengan gaun mini peach tanpa lengan kesukaanku. Ia cantik memakainya. Ia mampu memblokade seluruh aktifitas lain yang harus kusiapkan. Ia memang mampu menstimulus irama erotis padaku tanpa harus berbuat lebih. Gaun peach pemberian. Samar-samar sinar pada gaun peach itu memburam, menghitam lalu akhirnya menghilang. Aku kian terbang. M

Tirani dan Cinta (Episode 1)

Gambar
Malam pekat tak jua hentikan langkahku. Aku berlari. Kian cepat. Merintangi jalanan tanpa harus memastikan apakah tepatnya itu datar atau terjal. Aku harus menjauh—sejauh mungkin hingga aku tak ditemukan. Langkahku kian gesit. Menyusup di antara rerumputan liar, semak belukar, pepohonan dan bebatuan yang tidak beraturan. Hutan memang tanpa pola, tanpa nada dan tanpa penerangan. Aku kian cepat. Terus melaju menuju ke timur. Brukkk!  Aku terhenyak. Langkahku refleks berhenti dengan ringan namun penuh mawas. Ada sesuatu di hadapanku. Di antara semak belukar dan sebuah pohon ek yang tinggi menjulang.  Aku merapatkan tubuh ke arah bebatuan di antara pepohonan sebesar sepuluh kali lipat dari tubuh mungilku. Umurnya pasti sudah ratusan tahun. Lupakan itu. Ada sesuatu di depan sana. Mengancamkah? Aku siaga. Melontarkan pandangan 360 derajat memastikan sekelilingku aman. Di hadapanku. Kurang lebih lima meter.  Aku tiarap. Menyatu dengan tanah.  Srekkk! Srekkkk! Trashhhh! Suara ranti

Satu Dua Cerita Diri

Ini cerita tentang seorang dari dua, tiga, berjuta, bermilion, berlaksa malaikat pengandung semesta. Rahimnya.  Uterusnya dan ovarium yang memiliki ovum terberkati. Pioner. Bilangan fetus yang kian bertambah di pangkuannya. Pertiwi.  Bukan. Lalu?  Ini hanyalah sesosok yang berdosa namun ia percaya pada kekuatan, asa, impian, hari esok,  dan ia jauh dari parasitisme.  Lalu, ucapkan satu kata yang mampu menjadi sebuah kekuatan terkuat ia dikisahkan. Ia kuat. Tegar. Tak sungguh benaran. Kala malam menyepi dan remang tergugat pekat. Ia suka terbangun. Untuk sekadar menikmati rehat hati, melanjutkan rodi waktu yang terus saja menggerusnya. Menyisakan peluh larut malam di kening dan rahang mungilnya— yang mulai berevolusi mengikuti fase Charles Darwin—dari yang hiduplah muncul kehidupan. Satu alasan. Bukan pencerahan. Tolol! Yang tersurat haruslah disiratkan.  Lihat ke kedalaman sirat maknanya. Kehidupan. Sumber segala sumber, awal segala dan alasan mengapa ada karena dan sebab akibat sebuah

Sosok Menteri Pendidikan Yang Fenomenal

Gambar
"Seorang Nadiem" tiba-tiba hits di mana-mana. Bagaimana tidak, beliau adalah menteri termuda dalam kabinet baru dalam sejarah republik ini.  Oleh karena itu, agar kita selangkah mengenal beliau, mari baca selayang pandang berikut,  Yuk kenalan dengan menteri Pendidikan baru kita ....  Nadiem Makarim Nadiem Anwar Makarim (lahir di Singapura, 4 Juli 1984; umur 35 tahun)[1] adalah seorang pengusaha Indonesia. Dia merupakan pendiri serta CEO Go-Jek, sebuah perusahaan transportasi dan penyedia jasa berbasis daring yang beroperasi di Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara seperti Singapura, Vietnam dan Thailand. [2] Latar belakang Nadiem Anwar Makarim adalah putra dari pasangan Nono Anwar Makarim dan Atika Algadri. Ayahnya adalah seorang aktivis dan pengacara terkemuka yang berketurunan Minang-Arab. Sedangkan ibunya merupakan penulis lepas, putri dari Hamid Algadri, salah seorang perintis kemerdekaan Indonesia. [3]Pendidikan Nadiem menjalani proses pendidikan dasa
      Golliath tersentak, mengerjap-erjapkan matanya. Dadanya naik turun berirama sungsang.  Bulir-bulir bening penuh tendensi menganak sungai menelusuri lekukan wajahnya. Menuruni dahi, pipi, dan akhirnya meresap mengalirkan kecemasan yang menyelusup kembali ke dalam dadanya.  Ini sebuah petaka! Sebuah bisikan muncul dari dalam dirinya.  Tidak apa-apa, dia sudah mati. Tidak akan ada yang tau! Percaya padaku. Bisikan lain yang juga muncul dari tubuh berpeluhnya. Ia basah. Persis seperti semalam kala purnama kedua belas terang menerangi subuh kala itu. Ia menyeret Parjalang setelah tak berkutik. Menguburnya dibawah pohon aru dengan gejolak murka. Lalu, gejolak kemarahan itu surut tergantikan gundah dan takut. Ia bukan karena polisi atau bahkan pembunuh bayaran yang akan segera menyudahinya, tetapi perkara Nyai Laras. Anak Parjalang yang selalu betah bermain dengan putrinya, Suyi. Namun, jika ibu Sunyi harus betah berdendang di sudut gudang dan takut melihat wajah lelaki, bahkan wajah Go

di Balik Senyuman

Aku berseru-seru kepada alam. Senja merona kemerahan pertanda ingin membuaiku dengan sejuta lagu nina bobo menjelang ia sembunyi. Keteduhan yang tak jua mekarkan jiwaku. Kemuraman kian mengontras tergurat di bilik-bilik jantungku. Malam ini akan semakin genting! Kapankah malam-malam terik ini benar-benar menyatu dengan lelap, membuai Sheena dalam ayunan dan menitipkan mimpi-mimpi pengganti letih pada raut wajah ibu yang mulai turun menyisakan dua buah kubangan cekung yang kian menjorok ke bagian dalam.  "Zain! Pastikan semua surat-surat berharga sudah kamu susun dalam ranselmu, jangan sampai ketinggalan." Ibu mengingatkanku. "Sudah, Mak. Nyai Laras sudah mengingatkanku." aku berusaha meyakinkan sesuatu yang aku tau hanya menyisakan bimbang untuk ditangkap mamak.  Ia mendesah panjang sekali. Sepanjang ladang cabainya yang sudah rusak dilalap lahar panas seminggu yang lalu. BMKG memberitakan gelombang vulkanik meningkat. Puncaknya adalah malam ini. Lalu, harus ke mana

Sengketa Rasa (Part II)

Tepat 5.30 wib, sayup-sayup kepanikan dan kericuhan itu tertangkap telingaku. Aku terkesiap walau belum sungguhan menyatu dengan kesadaranku. Bunyinya kian kuat, gaduh, penuh emosi dan tendensi dari beberapa pemilik pita suara. Lagaknya aku mengenal warnanya masing-masing. "Hei! Berani sekali kamu mencuri, hah?" seorang wanita, seperti pita suara milik Markonah, membabi buta beringas dengan luapan emosi tak terkendali. Emosinya bagai menganak sungai mengalirkan lahar murka. "Sudahlah, Mar! Paling ia hanya akan diam ditanyain ... pura-pura senewen. Ih! Memalukan!" Ini jelas pita suara Nurbaya.  Lalu mereka sama-sama menghujat, mencemoh dan menghakimi. Aku refleks bergerak cepat, segesit yang kubisa saat kata-kata pura-pura senewen dilontarkan Nurbaya. Ibuku dalam bahaya! Begitulah hidup di kompleks ini. Perumahan yang bagi kami sangat luas dan nyaman dibanding rumah kumuh kami di Pantai Paris. Tetapi, bicara nyaman dan suka, aku pastikan di sini adalah nerakanya jaga

Jatuh Rasa

Aku melupakan kejadian itu begitu saja. Tetapi satu yang menjadi kesalahanku,aku juga lupa, bahwa ada yang mungkin saja masih mengingat bahkan mengumbarnya bagaikan jajanan udara yang dengan rakus dilahap oleh semua orang. Semua orang, tanpa terkecuali. Aku lupa itu, bahkan tidak pernah membayangkan mimpi buruk dan bencana yang dengan runtun berparade bagaikan drama kolosal dramatik yang berlatar kepedihan dan berakhir dengan harapan sebuah kejatuhan, keterpurukan bahkan mungkin peniadaan diri.  Bunyi bel rumahku bersahutan dengan bunyi yang mentransfer kemarahan seseorang di balik pintuku. Menekan dengan bertubi-tubi tanpa peduli betapa mengganggunya bunyi kemarahan, buru-buru, dan emosional yang ia timbulkan. "Dia lagi!" ujarku sambil menatap skeptis pada layar monitor penghubung ke depan pintu. Langkahku dengan murka berjalan sangar ke depan pintu. Andaikan aku punya taring di ujung kakiku, kupastikan ia sudah merapat menggertakkan bunyi emosional.  Pintu segera kubuka. &q

Hasrat Tertinggi

Inginku bersenyawa ke kedalaman logam mulia di dasar bumi. Membawanya dalam dadaku dan menyusui semesta.  Sesekali memanjakan seluruh jagat dalam imaji yang merdeka.  Tanpa banyak ilusi yang membutakan namun ujungnya adalah sebuah penyimpangan Tanpa kekakuan tanpa sandiwara karena bumi bukanlah panggung Sesekali biarlah bakung berbunga kala terik mulai mendera Sesekali biarlah semesta merdeka dari sesak sandiwara Sesekali kan kubelah dadaku dan kucumbu semesta dalam teduhnya kehangatan sebuah syukur Pematangsiantar, 19 Oktober 2019

Parade Memintal Sumut

Semesta memang memetakan kita dengan kungkungan rutinitas dan sebuah kewajiban, panggilan hidup dan terikat. Pemenuhan dan kesejahteraan kita di esok hari adalah dasarnya. Namun, tetap kreatif,energik dan sigap harus dijaga agar tidak tergerus jenuh. So, we need to have our relaxing and self-healing to stay a live. Kita butuh refreshing, mewaraskan imaji dan memulihkan saraf pusat. Liburan dan menyatu dengan alam adalah sebuah solusi terbaik yang dianjurkan. Menjelajahi alam dan menanggalkan segala rutinitas. Liburan lalu dinilai menjadi sebuah kebutuhan yang harus tetap diprioritaskan.  Bagi saya pribadi, adalah sebuah anugerah tinggal di daerah Sumatera. Menjelajahi danau toba dan sekitarnya menjadi pilihan dan saya pribadi tidak pernah merasa bosan. Saya bergerak dari Kota Pematangsiantar. Membawa bekal roti ganda dan tentunya bontot dari rumah. Mulai dari mi gomak, dendeng ikan mas, daun ubi tumbuk, sampai pada ubi rebus. Perjalanan memasuki Parapat. Sebuah daerah kabupaten yang m

Sirius

Aku ingin terbang, ke langit ke tujuh. Ingin ku meraih bintang-bintang menjadi kerlipku. Jika tanganku terluka, akan kubelah lima dan aku akan pulang dengan sepasang tangan berjari lima puluh.  Aku Sirius. Menyala, menikam ketakutan  dengan bintang-bintang yang akan menjemput pagi. Jangan menghardik dalam meminta Berkarya bukan perkara barisan kata-kata Kata-kata adalah netral Tak ada rasa hanyalah aturan pergiliran Imaji dan nalar membuatnya berpihak.  Berhati-hatilah Imajimu itu liar Menyesatkan dan membuai Kendalikanlah .... Di tempat tidur, kala kehabisan ide. 19 Oktober 2019 Erlina Siahaan 😍🤭

Setitik dua

Aku ingin terbang, ke langit ke tujuh. Ingin ku meraih bintang-bintang menjadi kerlipku. Jika tanganku terluka, akan kubelah lima dan aku akan pulang dengan sepasang tangan berjari lima puluh.  Aku Sirius. Menyala, menikam ketakutan  dengan bintang-bintang yang akan menjemput pagi. Kala semesta lelap, namun tak sungguh-sungguh hening. Ada sebentuk gelora di sudut barat. Menggeliat-geliat tak tenang, mencoba berdiri tapi sepertinya ia tak kuasa. Sepasang bola mata mawasnya tak sungguhan mawas. Ia tak mampu mendeteksi sepasang mata elangku. Mata bulat berlayer minus tiga. Semua jernih, cerah dan membias. Kekuatan lensaku di fokus terkokoh. Aku siaga, melawan dingin dan tusukan-tusukan nyamuk hutan. Ia menusuk-nusukku mencari arteri, lagaknya mereka menemukan venaku saja. Dalam sekelak, ia jatuh dan membumi. Nyamuk nakal tak kenal mangsa! Ia teracuni. Mengakhiri kisahnya yang hanya sehari di semesta. Tak ada yang tertutupi di balik pekatnya malam. Purnama kedua belas setia mengawalku. Bag

Mural Cinta Ibu 1

Hari ini ia kembali ke rumah. Seperti biasa—hampir subuh. Tak ada sapaan. Tak ada cinta apalagi nafkah. Aku tetap dengan lelapku, walaupun tak sungguhan. Jika aku berkomentar, aku takut lagi-lagi adu mulut kami hanya akan menghasilkan kebuntuan dan Piter akan terisak memeluk sebelah pahaku. Ia menemukan kehangatan di sana. Berurai air mata dan dia akan memaksaku menggendongnya dan wajah ovalnya akan dibenamkan lama-lama di dadaku. "Ma, jangan ribut lagi sama ayah ... biarin aja ayah pulang, atau ngak pulang sekalipun. Tidak apa-apa, asal aku dijagain mama." ucapan putraku kemarin masih terlintas jelas. "Kau tau, Nak! Kadang lelaki dewasa itu tak ubahnya seperti perahu rusak yang mengambang. Seperti berlayar padahal terkapar. Seperti hidup padahal mati." Aku mendoktrinnya. "Tapi kau tau, itu hanya dilakukan lelaki yang seharusnya memakai rok. Atau bahkan tidak layak menggunakan rok ataupun celana. Telanjang mungkin akan lebih baik. Lalu, ia akan dikejar-keja

Maafkan Aku

Maaf Sebuah kata sarat sesal Kata kelu tertumpu di langit-langit Tiada terlafaskan Lalu, jika hidup adalah belajar Mengapa begitu sulit memaafkan Jika esok adalah harap Kupastikan dadaku penuh dengan maaf Jika maaf sudah digelar Bukan berarti memadu awal Mungkin, sendiri-sendiri adalah awal Aku ke barat, kamu terserah asal tidak searah Maaf kuberikan pada purnama ke tujuh Ke sepuluh tujuh puluh kali Lalu, haruskah kita masih seiring Jika hanya maaf yang kupunya untukmu Maaf rasa yang kuberi Ternyata mengusir seluruhku Tak bersisa tak berbekas Maaf, tuan! Aku sudah memaafkan Segala kisah, segala alur Saatnya berpulang ke peraduan Kala semua hanya sisakan maaf. 

Terjadinya Danau Toba

Ringkasan cerita aslinya : Alkisah—dahulu di Sumatera Utara, Indonesia, ada seorang pemuda yang suka memancing. Suatu hari ia mendapatkan ikan dan ikan itu ternyata merupakan jelmaan dari seorang gadis yang cantik. Setelah lama bersama-sama, pemuda dan gadis tersebut menikah dan mempunyai anak yang bernama Samosir. Pemuda dan gadis itu hidup sejahtera dan mempunya janji yaitu pemuda tersebut tidak boleh mengatakan kepada Samosir bahwa ia adalah anak ikan. Pada suatu hari pemuda tersebut keceplosan karena terbawa emosi dan mengatakan Samosir anak ikan, lalu terjadilah badai yang kuat. Ibu Samosir menyuruh samosir untuk pergi ke bukit yang sangat tinggi dan memanjat pohon di sana. Lalu Ibu Samosir sendiri pergi ke danau berubah menjadi ikan yang sangat besar sehingga menimbulkan air sungai meluap dan menjadi genangan air yang besar. Lama kelamaan genangan itu menjadi danau yang sangat besar. Oleh masyarakat setempat, danau tersebut diberi nama Danau Toba. Gubahan tanpa mengurangi esens

Mural Murka-Mu

Bersimpuh ku menatap jagat Kosong bersanding dengan pilu dan tersayat Aku menatap dosa dan murka yang pernah di tempa Mengharap untung nyatanya buntung Siluet keserakahan, benci dan dengki melarut dalam sebongkah imaji tanpa empati Pada jagat ku bertanya, rumput bahkan sudah menghitam Pada langit ku teriak, ia tenggelam di pekatnya kabut yang menelan ozon Ia tercabik, karbon monoksidanya mencekiknya sisakan sesak di dada anak-anak kami yang tak lagi bisa berdendang merdu Ah, kepedihan di mana-mana Dindingnya adalah kami dan siksa ini adalah lantera tertuang yang melukis murkaMu PadaMu kami berpulang Pada sesal dan mohon ampun Padamu jua kami berseru Pulihkan negeriku Pada muralMu yang indah Sudah cukup air mata dan dada yang remuk rodam Kini urapi kami dengan kasih penghiburanMu Pematangsiantar, 29 September 2019 Biodata Penulis Erlina Siahaan, wanita kelahiran Pematangsiantar 32 tahun silam ini adalah seorang lulusan pendidikan kimia dari salah satu universitas neg

Memapaki Lembaran Esok

Berjuanglah kalahkan sulit. Buai takutmu dan taklukkan rasa sakit. Bukankah sekali kau mengajariku demikian—kala kau berhenti melangkah, putar haluan dan menjauh? Kehancuran begitu sempurna mengajariku cara berjuang sendiri. Hingga aku menemukan kekuatan di antara ketiadaan, bahkan aku melupa bahwa kau pernah di sampingku. Percayalah, kelak akan tiba di reinkarnasi bahwa luka dan sepi berevolusi menjadi tawa. Aku melihatnya di sana. Terkapar di antara mimpi yang ia untai untuk mereka. Ia lelah, jenuh menghayalkan imajinya yang tak pernah bertepuk nikmat—dia diabaikan melebihi mimpi terburuk yang selalu dianggap angker. Lalu, waktu menyeretnya lebih dalam lagi ke liang keterpurukan bahkan ia menyesal. Ia berkisah dengan sangat tersendat dan sulit kuterjemahkan. Ia masih sering mengigau. Kadang  ia mengingat siapa aku dan kadang ia menganggap aku Markonah. Yang kutau, itu istri keduanya. Namun, ia memanggil nama itu sambil berteriak pulangkan rumahku, jangan jual, sundal kamu, s

Selaksa Dosa yang Mengayuh Pergi

Aku lelah diam dalam tangisku. Wajahku sesak mengukir senyum terhempas cadas yang kian mirip seringai. Mataku jemu menyembunyikan laguna yang mengiba terurai. Sesat ditelan nestapa. Remuk tertindih kemelut hidup. Salib derita patahkan tulang, mengais mimpi tak jua kuterjaga. Malam-malam mulai berbaris rapat, dari Januari hingga pengakhiran. Setia menunggu giliran untuk mengabdi pemuas birahi. Bukan! Dengarkan aku, ini sebuah suratan, bukanlah hasrat. Bukankah semesta menggiringku kala siang membabu menyokong hidup? Zain menemukan sebentuk wajah pada cermin datar di hadapannya. Wajah itu, sesungguhnya cantik dan menggoda dengan lipstick soft baby pink. Mata redup itu seolah menagih fakta. “Mengapa takut Zain? Begitu sulitkah melangkah pergi, setelah datang dan bertahan bukanlah soal?” Zain mengerahkan fokusnya ke cermin. Tak ada diksi yang mampu ia lafalkan—memilih bungkam. “Lihat aku! Sampai kapan keriput menelan kecantikanku? Sampai kapan mata ini kehilangan binar? Jawablah aku, men

Sesat di Pemintalan

Sang ayah menebang kayu, Membajak hutan dan mendayung perahu. Meninggalkan Sang ibu bercinta dengan solek dan kemewahan Nun jauh di tepian remang Parmalim menenun, merajut selendang Sutra dan solek akan sepadan dengan kemewahan Kala burung hinggap di selatan dan senja sudah temaran Sang ayah pulang melaut. Mendapai peluru bersarang di dadanya Ia disiksa sesal Lagi dan lagi Kala semesta seolah malu menjelaskan, adalah sebuah kebanggan dan ikan-ikan berseru, air menenggelamkan semesta! St .... Jangan berisik .... Sang ibu sekarang sudah doyan memintal sutra!