Para pecundang cinta
Aku melihatnya di sana. Terkapar di antara mimpi yang pernah ia untai untuk mereka. Ia lelah, jenuh menghayalkan imajinya yang tak pernah bertepuk nikmat—dia diabaikan melebihi mimpi terburuk yang selalu dianggap angker. Lalu, waktu menyeretnya lebih dalam lagi ke liang keterpurukan bahkan menyesali dirinya yang selalu gagal menjadi idola Sang Pujaan. Ia berkisah dengan sangat tersendat dan nyaris sulit kuterjemahkan. Ia masih sering mengigau. Kadang ia melihatku menjadi Sang Pujaan. Aku terhenyak. Sesungguhnya, ia terlalu tampan untuk wajah petakku. Hari ini, aku di sini. Timku mengatakan baginya harapan untuk hari esok di ambang kemustahilan. Aku berontak, ia masih harus tegar! Hari itu, antara gebu dan semangat aku menyuntiknya dengan nalarku. Mengucapkan berbagai kalimat yang dibalas hanya lewat tatapan kosong. Kosong tanpa fokus, ia kehilangan fatamorgana yang seharusnya mencelikkan irisnya. Retinanya juga tak bisa mengatur fokusnya. Ia nyaris kehilangan siapa dirinya. Ia lalu m