Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2019

B A J O K A

Bajoka Seorang ayah pergi melaut dan pulang mendapati peluru bersarang di dada anaknya. Ia tak percaya ikan-ikan menjelma berdaging besi. Pecah hatinya, pecah perahunya. Gelombang laut pindah ke matanya Lalu, ia sadar daratan sudah dijajah. Ibu mengongseng tanah pusaka Ia tak percaya kualinya melahap seluruh tanah harapan pengganjal perut sang anak. Sang anak meraung, namun suaranya lalu hilang ditelan semesta Yah! Begitulah hidup, kadang tanpa mengenal akhir cerita yang ternalarkan tetapi selalu dengan kejutan penuh sensasi. Yang pasti finish itu garis di mana Sang ibu menyulap ikan-ikan menjadi menu. Sang ayah dan anaknya duduk menyertainya di besi yang sudah ditempa menjadi meja anti peluru. Menyantap ikan menjadi amunisi siap tempur. *** "Aku butuh uang belanja, Pah!" Betty duduk bersender pada dinding bambu rumahnya—tepat di sebelah suaminya. Sang suami masih saja sibuk dengan laptopnya. Matanya gesit bergerak ke atas-bawah, ke buku-laptop. Kecepatan pertukaran

Pilu

Lihat ke kanan pada tawa dan canda bertabur gegap gempita Pada sisi kala kamu punya materi Lalu, bercermin menggambar diri. Lihatlah! Tak ada ego yang bisa dibusungkan. Lalu, haruskah kamu mengharap adil? Pada bilur-bilur yang sudah jatuh Pada hati yang sesak sakit menderu Marilah singsingkan lenganmu Jalanilah dengan ikhlas pada jagat dan semesta Pada awan dan langit Yang masih setia mengandung hidup Pada esok dan lembaran tahun Yang akan terus berlayar mengalur hidup Janganlah kalah pada dera Tersenyumlah Eratkan tangan di dada, tutup mata dan berdoalah

Resensi Novel Laluba

Resensi Novel Laluba Sebuah Novel Kesukaanku. Judul: Laluba Penulis: Nukila Amal Cetakan: I, Mei 2005 Ukuran: 13,5 cm x 20 cm Tebal: 166 Halaman Harga: Rp. 80.000,- ISBN: 979-3064-13-7 Seri: Sastra   SINOPSIS Kumpulan cerita pendek Nukila Amal memuat penggambaran kondisi kemanusiaan yang bergerak di antara situasi keseharian dan yang ekstrim: orang yang berjalan –jalan, rehat di kedai kopi, kejenuhan, cinta pertama, sepi usia tua, hingga kebrutalan perang. Subyeknya bisa siapa saja atau apa saja: Ibu yang tengah hamil, penari eksentrik, setetes embun, dua tangan yang bercakap, atau seekor buaya kecil yang menyeruak keluar gambar. Cerita bertempat di pesisir Halmahera, gang dan jalanan kota Jakarta, desa di Korsika, galeri di negeri Belanda, sirkus di negeri antah berantah, atau taman ria di dalam mata. Beberapa cerita bertolak dari karya – karya pegrafis M.C.Escher. Cerita – cerita pendek Nukila, menyeret kita ke ceruk batin manusia yang paling dalam dan misterius. Membac

Madesu (Makemak Demen Suka-Suka)

Bagai irama musik di acara syukuran tunangan seorang anak perawan teman. Berdentuman merdu terpecah oleh lantunan lagu yang kadang falset. Jangan pesimis, itu karena kami yang menguasai panggung. Vokalisnya vakum bagai terpasung—pasrah. Atau lebih tepatnya serasa minoritas dalam pertunjukan tunggal mereka. Tapi kami tertawa bersama. Aneh bukan? Maaf, kami bukan spesies sekelas alien. Bukan sapiens apalagi hobbit yang katanya inteligen kayak aggen FBI itu. Wait ! Kami jebolan test ASN di masanya. Lalu, siapa peduli akan hal itu? Sejujurnya kami adalah jiwa-jiwa toleran. Kadang, bukan! Lebih tepatnya cenderung memiliki empati yang berlebihan. Pada situasi tertentu, ada reflektor yang merefleksikannya pada kami. Bukan label yang kami pajang sendiri. Hahahahaha .... Hanya, kadang kejenuhan dan beban dalam bolus-bolus sensorik yang mengendap akan sensitif bila mendeteksi irama teratur yang kalian sebut nada. Kami bahkan tak begitu peduli jika ia dinamai nada. Kami punya banyak na

Drama Siang-Malam (Bagian I)

Kala itu masih subuh. Siluet-siluet remang masih sulit tertangkap fokus netra. Kupastikan jika kamu berdiri di perempatan jalan, bulu-bulu tubuhmu akan berlari tercirit-birit. Lalu pagi terbangun dari tidur panjangnya. Perguliran sumbu bumi meminta restu dari Sang Pencipta. Alam tunduk. Tafakur. Ayam—Sang pengawal jagat memberi sebuah upacara pembuka. Lolongan yang kalian haluskan dengan sebutan kokok. Ia mungkin diam. Tanpa protes. Bungkam dan pasrah. Hidup sepertinya satu pintalan dengan dusta dan sandiwara.  Bagai seorang musuh berbumbu karib. Di depan ia tersenyum lebih cerah dari tawamu. Di belakang  ia terbahak melihat raunganmu. Nun jauh di kegelapan ada entitas yang mengerang murka. Semesta tercipta bukanlah untuk menjadi pertunjukan opera pun pertunjukan seni apalagi panggung sandiwara. Jangan terkecoh! Dogma jerat pembodohan akan dunia panggung sandiwara adalah ilusi yang menjadi candu. Amunisi yang mendoktrin penghuni jagat untuk sembunyi di balik sebuah dosa—dusta

Ketika hidup adalah harga mati

Sebuah sinopsis dari novel yang akan saya garap: Butet akhirnya ditinggalkan saat ia benar-benar jatuh hati pada Zain. Lalu ia mulai merasa terganggu akibat sesosok Bonar sampai akhirnya jatuh cinta dan menikah dengan pria romantis itu. Namun, PHK membuat kehidupan ekonomi mereka mengalami gejolak dan Bonar frustasi. Ia suka mabuk dan mengabaikan Butet. Bahkan setelah Piter lahir. Anak itu tumbuh dalam pengasuhan ibunya dan diabaikan Sang ayah. Butet mulai survive, mengolah lahan terbiar di kampung mereka dan mulai bercocok tanam di sana. Ia sadar hati suaminya sudah di curi janda pemilik kafe. Ia harus bisa menyekolahkan Piter. Akhirnya, malam buruk itu tiba. Bonar menawarkan poligami dan Butet memilih pergi tanpa tujuan. Pertemuannya kembali dengan sesosok Zain mengubah alur hidupnya namun mampukah ia mempertahankan harga dirinya sebagai ibu? Ia mencoba bertahan. Bahkan membuat Zain semakin menggilainya. Di akhir masa tuanya, ia pun mulai menyadari rasanya pada Zain. Lalu, sanggu

Selaksa Doa untuk Buah Hatiku

Selaksa Doa untuk ananda By: Erlina Siahaan   Aku berjalan memasuki halaman sekolah tempatku mengajar dengan lega. Ketiga buah hatiku sudah kuantarkan ke sekolah tempat mereka manimba ilmu—dekat dengan tempat kerjaku. Aku tersenyum sembari menempelkan jempolku pada mesin finger print. Hari ini akan melegakan, pasti! Aku menutup mata menarik nafasku dengan teratur dan menghempaskannya dengan lega.    Aku lalu melangkah ke kantor guru dan melihat rekan-rekanku di sana. Saling bercerita, ada yang bersolek dengan kaca tua yang terpampang di dinding. Ada yang saling berbisik asik cerita berdua. Lalu, aku masihberdiri di ambang pintu. Merasa sendiri dan tiba-tiba jiwaku ciut. Ke mana aku harus bergabung untuk di sapa dan disambut ramah? Lalu, kukalahkann iblis nakal dalam diriku. Melangkah pasti ke dalam kantor. “pagi semua!” Aku menyapa riang. Lalu suara merdu menyahut salamku. “gimana kasusmu, sayang?” seorang rekan seumuran ibuku menyapa mesra. “ hampir rampung bu!” “baguslah. Kami sen

Aku nyonya di rumahku

Aku Nyonya di Rumahku (Erlina Siahaan) Aku menatap wajahku pada pantulan cermin datar di kamarku. Tepian cermin yang dihias jati terbaik Jepara itu menambah kemewahan kamar yang kini penuh drama. Kupandangi foto pernikahanku, tepat pada sesosok pria tampan dan gagah yang memelukku erat. Pelukan yang sekarang menyisakan perih di ulu hatiku. “Terlalu banyak luka yang kamu torehkan untukku, Mas. Kali ini sanggupkah aku?” aku membatin. Lalu, kudengar suara mobil yang biasanya akan membuatku berlonjak  menyambutnya. Tetapi, kali ini membuatku kehilangan separuh  jiwaku. Aku bergegas ke arah tirai—mengintip di antara jerejak baja. Aku melihatnya dengan kemeja dan dasi pilihanku. Tetap dengan senyum yang mampu memikatku menjadi ibu di rumah ini. Lalu, akankah kemewahan ini menjadi penjara untukku? Ia bergegas membukakan pintu ke sisi lain. Tanganku meremas tirai dengan getir. Seorang wanita cantik dan memikat keluar dari dalam mobil itu. Gaun mewah dan riasan sempurna, segera tertangkap m

Saat terpejam

Saat kuterpejam, ada yang terlewat begitu saja Tak sadar aku tertinggal jauh dari harapanku Saat kuterpejam, sempat kurasakan napasmu Berkelebat cepat di depan wajahku Lalu lenyap tak lagi kurasa desisnya Saat kuterpejam, kucari-cari merdu suaramu Teriakan demi teriakan kugaungkan Namun hanya bergema Memancul kembali padaku bak bumerang Saat kuterpejam, di mana sebenarnya wujudmu Kanan dan kiri kuraba Tak ada wujud yang dikenal oleh kedua telapak tanganku Saat kuterpejam, hanya sehelai kertas di tanganku Mungkinkah tergambar rupamu di situ? Ah, sayang aku tak bisa melihatnya Saat kuterpejam, saat itulah dirimu menghilang Saat kuterpejam, saat itulah harapanku sirna ditelan waktu Saat kuterpejam, saat itulah dimensi terjauh telah memisahkan aku dan kamu.

Perkara Kentut

Kelas yang riuh dan ritme suara melengking menghardik semesta tiba-tiba hening. Diam. "Siapa itu? Kamu kan?" Seorang anak perempuan berkepang dua menuding seorang anak lelaki yang duduk di meja sebelahnya. Ia tampak bengong. Ekspresi kosong tanpa merasa bersalah. "Bukan aku!" Hanya itu dan dia tetap melanjutkan guratan rangkaian garis-garis tanpa pola yang teratur pada kertas di hadapannya. Saat pangkal menerjang menempa ujung. Lalu guratan lain timbul menarik fokus. Mengukir ruang bercorak tanpa sebuah salam. Ibarat kentut yang menyatu dengan semesta tanpa salam pembuka apalagi penutup. Tanpa rambu. Tanpa klakson pemberitahuan atau tanpa lampu sorot sebagai penanda. Mungkin, ditandai dengan mimik tuannya yang tegang seketika, memucat dan menegang berusaha menambah tegangan permukaan pada katup penahan kentut. Namun, saat klepnya hilang kendali dan tekanan di dalamnya menerobos begitu saja diikuti irama pucat memias di wajah sang tuan. Tetapi, adakah sensor pend

My Writing's Genre

"A romantism isn't out'f your home, far from your own or your days. Don't seek it out of you. It's in you ... your heart, your mind and your soul .... thats why i love romance. Exotic." Menulis itu sebuah relaksasi jiwa— self healing mujarab yang eksotis. Bisa berimaji, berlari ke mana kamu suka atau bahkan yang mana mau dibuang dan dilupakan tanpa membuat semesta merasa bersalah sudah membawamu ke situasi tersebut. Menulis bukan perkara tangguh atau amatir. Menulislah. Sebab kamu punya kisah untuk diguratkan. Menulislah dan biarkan semesta mengenangmu lewat bukumu. Romantika penuh entitas estetika rasa. Bahagia, kasmaran, deg-degan , patah-hati, remuk, sepi sampai semarak dan glamoristik . Segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia adalah masalah hati. Sarat perasaan. Sarat mimpi-mimpi yang dibalut dengan romansa jatuh bangunnya kisah itu sendiri. Kisah yang akan selalu mengalur sepanjang hayat. Sepanjang semesta masih memeluk hidup dan hidup masih

Thinking Big for Success

Sering kali kita minder—merasa tersisihkan di garis terbawah yang sesungguhnya tidak nyata. Kita menciptakan kelas-kelas kasta dalam benak kita dan merefleksikannya pada  keseharian. Dia cantik, aku jelek. Dia kaya, aku miskin. Dia sukses, aku terpuruk. Dia bahagia, aku menderita. Aku tidak mungkin bisa bersahabat dengannya. Aku tidak mungkin bisa sesukses dia. Aku tidak mungkin bisa meraih yang lebih besar, selain kegagalan ini. Begitulah pikiran anda membuat anda skeptis dan sulit bertumbuh. Baik secara emosional, profesional maupun finansial. Pengenalan kita akan siapa kita adalah perkara yang harus kita ketahui pertama sekali. Siapa Tuhan kita dan akan menjadi apa kita kelak. Pada kondisi ini,anda harus memiliki inisiatif untuk bersikap dan bertindak. Inisiatif adalah kemauan untuk mencoba, berbuat dan bertindak mencari solusi atau penyelesaian dan berusaha meminimalkan resiko negatif yang akan muncul. Sebuah tindakan efektif untuk bertumbuh dengan modal keyakinan di

Sengketa Rasa Part 2

Aku merah. Menyala bahkan membakar. Mawar yang benderang kala gelap mencuri mimpi. Siluet-siluet tajam yang menelan semena-mena. Aku karang. Teguh melawan badai. Tapi aku luluh pada suatu hal. Takut jika harus menjauh darinya. Aku haus. So thirsty ... if only i can push away the differents becomes one. Thay said im just dreaming along the day. Nonsense! Who cares about that. So thirsty .... Aku suka Mozart. Ia membuatku sedikit belajar tentang keanggunan. Kata ibu, begitulah memang seorang perempuan harus anggun. "Mozart itu bagaikan rok sepan.  Ibu mau kamu menggunakannya. Kamu terlalu idealis tanpanya." Ibu berucap lirih sambil membelaiku. Ia berharap transfer energi lewat sentuhan itu membangunkan jiwa kelembutanku. Aku tersenyum. Sedikit lebih anggun. Ya, aku mencobanya. Tetapi, raut wajah ibu menyatakan aku tidak sungguhan. Aku tetap perkasa. Ia menunjukkan wajah resahnya. Ibu itu bagaikan pulm. Keanggunan yang sederhana tanpa tampilan ruang yang sulit diguratkan.

Sengketa Rasa

Hari ini aku menelusuri tepian pantai dengan ibu. Seperti biasanya. Rutinitas. Ritual. Kali ini dia tampak murung. Mengamati mercusuar di lepas pantai. Ini tidak seperti biasanya. Asing. Pragmatis. Agak lama kami berdiam diri. Sesekali ibuku merapikan rambutku yang berkibar mengepak semesta. Sehingga tatapan kosong dan seringai itu mampu dengan mudah kutangkap. Ia tersenyum getir Seperti biasa. Lalu terbahak sebentar dan akhirnya kembali diam. "Kau tau Seruni, ayahmu itu bajingan. Ia pergi memilih pantai dan melupakan kita." Kembali ibuku berkisah untuk kesekian kali dalam satu hari ini. Mata bulat mungilku memandangi ibu. Berusaha menemukan keresahan yang mengabur dengan riak-riak mimik yang sulit kutafsirkan. Aku tau ia sedih. Lalu, tangannya kugenggam erat. Bagaimanapun ia adalah duniaku. Saat ibu begini, aku akan merasakan kesepian. Merindukan hangatnya pelukannya dengan tatapannya yang menyala-nyala dengan mimpi dan harapan di esok kami. *** "Runi ... lihat ib

Menikah Kilat Part 1

Kencan Buta Usiaku mencapai 32. Aku gadis peranakan. Ibuku batak dan ayahku bule. Iya! Bule. Asli keturunan Amerika. Ulalala .... Sejak menikah, ibu berjuang keras untuk bisa bersama ayah.  Mengurus surat ijin kependudukan yang beribet, katanya. Saat aku lahir barulah ibu mendapatkannya. Syukurlah .... Aku tinggal di Amerika dan benar-benar bisa beradaptasi dan berevolusi dengan baik. Kecuali namaku yang tetap menjunjung tinggi ke-Batak-anku dengan teguh. Butet. Panggilan Batak untuk putri kecil yang belum punya nama. Dan aku seolah tak bernama bukan? Yah, itu namaku, Butet. Aku tidak masalah dengan itu. Nenek mungkin ingin aku tetap ingat leluhur dan kulturalku di sini. Tidak masalah. Tidak ada yang salah sampai suatu ketika nenek—ibu dari mama berkunjung ke rumah dan membahas jodohku. "Butet sudah berusia matang. Ia harus menikah!" Nenek berucap tegas. Ibuku melirikku. Entahlah, kami belum pernah membahas ini sebelumnya. Ibu dan aku kikuk dalam kelu. "Betul. Kamu

Macet Akibat Plastik Basah

Deretan mobil berjejer kian memanjang. Beberapa sepeda motor terselip berusaha keluar menerobos kemacetan yang kian sesak oleh gerimis. Rintik hujan membasahi seolah berkabung untuk semesta petang itu. Langit Kampung Berbunga tampaknya sedang murung. Klakson dari kendaraan yang baru bergabung terjerembab dalam kemacetan kian meraung. Tittt .... tiiiittt! Tiiiinnn ... tinnnn! Memekik marah. Boomerang. Seorang pengemudi Honda Jazz Silver Queen keluar dari pintu mobil yang ia setir. Membanting pintu dengan keras. Berbaur dengan kerumunan yang membuat macet itu kian sesak. "Ada apa ini? Saya bisa telat!" Anehnya orang-orang di barisan belakang yang menerobos ke depan melihat penyebab macet malah memilih mundur dan diam di dalam kenderaan masing-masing. Gadis itu tampak kesal. Ia tak memperdulikan pintunya yang nyaris peot. "Saya telat ini!" Lalu,saat ia mencapai subjek itu. Ia hampir tumbang tak mampu menopang Stiletto 7 centimeter yang melekat pada kakinya itu.

Jamilah Part 2. Berbunga berkabung

Jamilah menari. Menghempaskan kesal di sebuah relung yang tak seorangpun pernah tau. Membuang cela yang seolah melekat padanya. Ekstrimistis. Benalu. Boomerang. "Wow, Mila keren sekali!" penonton bersorak. Memuji. Fanatis. "Fantastis. Gerakannya kian merangsang." seorang anak muda tergopoh mundur ke belakang. Libidonya membuatnya sesak sendiri. Ia tumbang ditelan imaji yang tak kuasa ia kuasai. Syukurlah di ujungnya ia mengetahui sebuah takdir semesta tidak akan pernah tergugat. Sakral—entitas yang tidak akan pernah bisa ia gapai. Ia dan Milah bagai langit dan sahara di bawah tanah. Bumipun jauh dari jangkauannya. Ia menelan dirinya sendiri. Membenamkan jiwanya dalam kelu. Berlari menjauhi keramaian. Namun, tak sungguh ikhlas. Kebenaran memang hakiki. Menyekat ningrat jauh dari jangkauan, namun tak sungguh memisahkannya. Ia membenamkan dirinya. Berusaha mengubur rasa yang semakin bergejolak merasuki. Ia kesal, mengapa harus Jamilah. Mengapa? Ia makin memasrahkan

Cinta gila

Aku melihatnya di sana. Terkapar di antara mimpi yang pernah ia untai untuk mereka. Ia lelah, jenuh menghayalkan imajinya yang tak pernah bertepuk nikmat—dia diabaikan melebihi mimpi terburuk yang selalu dianggap angker. Lalu, waktu menyeretnya lebih dalam lagi ke liang keterpurukan bahkan menyesali dirinya yang selalu gagal menjadi idola Sang Pujaan. Ia berkisah dengan sangat tersendat dan nyaris sulit kuterjemahkan. Ia masih sering mengigau. Kadang ia melihatku menjadi Sang Pujaan. Aku terhenyak. Sesungguhnya, ia terlalu tampan untuk wajah petakku. Hari ini, aku di sini. Timku mengatakan baginya harapan untuk hari esok di ambang kemustahilan. Aku berontak, ia masih harus tegar! Hari itu, antara gebu dan semangat aku menyuntiknya dengan nalarku. Mengucapkan berbagai kalimat yang dibalas hanya lewat tatapan kosong. Kosong tanpa fokus, ia kehilangan fatamorgana yang seharusnya mencelikkan irisnya. Retinanya juga tak bisa mengatur fokusnya. Ia nyaris kehilangan siapa dirinya. Ia lalu m

Thrid day ngodop

Judul: Jamilah—pulangnya seorang idola. Penulis : Erlina Siahaan Geger. Kampung Berbunga riuh dini hari ini. Mak Betty meraung menghardik semesta. Raungan yang mampu memutus tali mimpi dan lelap para tetangga. Mereka menghambur tanpa sebuah pembenahan tampilan demi mendengar "Jamilah ... bangun! Jangan mati ... Jamilah! Jamilaaaaahhhh ... tolooooooong! Tolooooong ... kemari, siapa saja! Huuuu ... uhh ... Jamilaaaaaah ...." Beberapa orang segera memasuki rumah. Memastikan ketakutan yang menimbun reka praduga saat mendengar dentuman pekikan Mak Betty. Uccok menerobos keramaian, hingga tepat di hadapan sesosok tubuh yang sudah kaku. Tubuh itu kini pucat. Tanpa tatapan, tanpa senyuman, tanpa sapaan. Tanpa semua yang biasa ia punya selain kecantikan yang masih menyisakan pilu. Uccok tersungkur di tepian tempat tidur. Beberapa warga histeris mengguncang-guncang tubuh Jamilah. Saling berpelukan lalu saling meluapkan kepedihan yang menyayat. Seorang dara serasa ibu untuk mereka

A poem for second day

Judul: Musuh Bumbu Karib Penulis: Erlina Siahaan Terima kasih untuk senyum yang kutau awalnya tulus. Untuk isak yang pernah kau hapus Kisah yang terukir di guratan terikhlas Harus dilepas! Terima kasih menunjukkan ia hanya layak sebagai mantan, Beda tipis setara denganmu teman. Ah, bumbumu mengapa terlalu sopan? Tandukmu melilit serasa belaian. Laguna tak harus mengering Hujan tak harus menggenang Fakta pahit hanyalah kenang Syukur mengalun membawa terang. Esok berwarna siap kujelang Tanpamu, tanpanya pasti jauh lebih senang Luka ini membuatku lebih matang Ke depan saat siap dipersunting Ps: Bukankah saat kita mencoba kuat, kita akan kuat benaran? Pasti! Patah hati itu lumrah. Pematangsiantar, 10 September 2019 Pict: pinterest

Adelaide took my heart

Adelaide, i'm in loved Aku begitu menggilai Adelaide. Lebih dari Adellie—tetangga baruku sejak di North Terrace. Esensi eksotisme yang lahir saat melafalkan kedua nama itu. Adelaide—kota pesisir metropolitan yang terletak di Samudra  Selatan bagian Australia, kota indah yang meliuk di antara perbukitan dan samudera. Sungguh, rinduku pada Indonesia sedikit terobati di sini. Bukankah harus ada rindu yang harus disimpan dalam-dalam, bahkan aku harus belajar mengabaikan rasa itu demi sebuah cita-cita? Harapan esok yang harus sukses. Malam itu, aku minum dengan para tetangga di tepian pantai Fleurieu. Menikmati anggur dan berbagai kuliner luar biasa lainnya. Sebagian besar sangat aneh rasanya di lidahku. Kecuali seorang gadis yang mampu membuatnya kelu. Aku nyaris mengunyah dan menelan lidahku. Ini gila. Ia menari dengan erotis sambil memainkan akrobat gelasnya. Meliuk di antara pengunjung laki-laki yang mulai menikmati gerakannya. Aku, entah mengapa tidak menyukai pandangan-pandangan