Sebuah Cermin fiksi berjudul: Ayah (Erlina Siahaan)
Ayah
(Erlina
Siahaan)
Aku terseok memapaki jalan menuju gubuk tua itu. Gubuk tua yang
sudah lama terbiar. Atapnya menganga bagai menghardik meminta iba pada semesta.
Tetapi ia tetap kokoh menjulang melawan angin yang memintanya roboh. Dinding
yang amat kaku saat kuraba. Ia angkuh terdiam. Lubang-lubang kecilnya
menertawakanku. Ventilasi yang terbentuk karena goresan waktu itu mulai
mencibir. Bagaimanapun aku dulu berjanji tidak akan pernah kembali, apalagi
untuk tinggal. Janji yang ternyata hanyalah sebuah isapan jempol. Sebuah doa
yang dulu kuaminkan untuk melangkah. Sebuah komitmen untuk maju. Lalu, saat
pagiku telah melayang, pergi menjauh dicuri dariku, aku hanya ingin sembunyi
sampai aib terlepas dariku—melebur dengan semesta.
Aku terpaku. Di depan pintu yang seolah sudah merintih, enggselnya
sudah meninggalkannya dan menyatu dengan bumi. Di sana, ia berkarat dan mati.
Ia enggan kubuka. Jemu menjadi hunian yang selalu diremehkan. Hunian yang
selalu menjadi lambang kemiskinan dan kemelaratan. Hangatnya dulu terabaikan.
Ruangnya ibarat pilihan yang selalu dicekal terakhir. Di sudut-sudutnya
kubayangkan hangatnya bercengkrama dengan ayah hanyalah ilusi. Imaji yang
menyesakkan, menusuk-nusuk dada dan menghujam tepat ke jantung. Menyayat hati
dan menumbuhkan sebuah rasa penyesalan. Penyesalan yang menjadi siksa. Kini,
siksa membawaku pada satu-satunya pilihan—gubuk tua ini. Tidak! Ini rumahku
dahulu, kala ayah menempaku menjadi putri. Yah, sialnya aku menyadarinya baru
saja. Yang ada hanya kosong.
Sepi dan mencekam. Tiada nyanyian,
tiada menu terbaik yang dulu selalu membuatku menangis meminta lebih. Membuatku
lupa diri dan mengabaikan perasaan ayahku. Aku bahkan meninggalkannya dengan
kejam. Kala ia sakit dan tak mampu berjalan. Kini, aku pulang menangisi diriku.
Semua hanyalah sia-sia saat aku mengabaikan ayahku. Semua hanyalah semu saat
aku tak lagi bergayut di lehernya. Ayah, haruskah dosaku kusembunyikan di sini?
Jauh dari keangkuhan dunia? Ia mulai nyata ayah, ia mulai hidup. Ia mulai
meronta menikmati hidup. Haruskah ia
lahir di sini? Maafkan aku ayah, saat aku terpuruk begini, aku hanya ingin bersua denganmu. Walau hanya mengusap
air mata. Ayah, aku lelah melangkah. Terik ini terlalu lama berlalu dan malam
terlalu pekat. Pagiku terlalu cepat kuusir dan aku hanyalah diam terisak di
sini. Di mana dulu ayah membuaiku dalam cinta dan sayang. Kini, diksi enggan
kulafalkan dan hidup seolah tak berpihak. Andai bisa memutar waktu, sedetik
saja dalam hangatnya pelukmu, ayah....
Komentar
Posting Komentar