Sebuah cerpen yang akan segera terbit :)

Memapaki Lembaran Esok

Erlina Siahaan

Berjuanglah kalahkan sulit. Buai takutmu dan taklukkan rasa sakit. Bukankah sekali kau mengajariku demikian—kala kau berhenti melangkah, putar haluan dan menjauh? Kehancuran begitu sempurna mengajariku cara berjuang sendiri. Hingga aku menemukan kekuatan di antara ketiadaan, bahkan aku melupa bahwa kau pernah di sampingku. Percayalah, kelak akan tiba di reinkarnasi bahwa luka dan sepi berevolusi menjadi tawa.

    Aku melihatnya di sana. Terkapar di antara mimpi yang ia untai untuk mereka. Ia lelah, jenuh menghayalkan imajinya yang tak pernah bertepuk nikmat—dia diabaikan melebihi mimpi terburuk yang selalu dianggap angker. Lalu, waktu menyeretnya lebih dalam lagi ke liang keterpurukan bahkan ia menyesal. Ia berkisah dengan sangat tersendat dan sulit kuterjemahkan. Ia masih sering mengigau. Kadang  ia mengingat siapa aku dan kadang ia menganggap aku Markonah. Yang kutau, itu istri keduanya. Namun, ia memanggil nama itu sambil berteriak pulangkan rumahku, jangan jual, sundal kamu, sialan, ayolah pulang. Sini kugendong. Jangan nyabu lagi, sayang uangnya. Beberapa kalimat di sana nyaris membuat bulu kudukku berdiri seolah dilempar ke sepuluh tahun silam.

    “Ia akan berakhir menyedihkan. Jangan terlalu didramatisir pertolongan untuknya.” rekanku mengingatkanku dengan lembut, seolah berkabung untukku. “Biarkan dia berdendang.” Ia mengajakku ke luar ruangan. Lalu kudengar ia berteriak, “maafkan aku Ki … maafkan. Aku—“ lalu, ia lemah dan tak berkutik di bawah pengaruh suntikan penenangku barusan. “Wah, hebat! Ia bisa ingat kamu dan kesalahannya. Sepertinya.” rekanku menatapku dengan heran. “Ia akan pulih. Pasti!” Ia berbalik tepat di hadapanku, “Tunggu dulu! Jangan katakan kamu masih sayang padanya.” “Tidak untuk perkara yang kamu maksud. Tetapi secara kemanusiaan dan profesiku di bawah badan narkotika mengharuskanku profesional tanpa alasan. Itu saja. Ciri-cirinya menunjukkan demikian dan ia akan kembali normal. Tapi aku sangsi ia bisa secerdas dulu.” Ia hanya tersenyum simpul mengikuti langkahku. “Aku percaya padamu. Waktu sudah menempamu sedemikian keras.” tungkasnya.

***

    Aku menatap lelaki postur ideal di sampingku—Ramli dengan lekat. Ia tersenyum penuh makna. Siang itu kami menunggu seorang teman lamanya untuk menyampaikan undangan pernikahan. Mungkin ia dengan bangga ingin mempertemukanku dengan sesosok teman lama yang spesial itu. Dan, jujur aku sampai membatalkan rapatku demi rasa penasaranku. Seorang perempuan bertubuh seksi dan menarik (sepertinya ia seorang sosialita) mendekati meja kami dan disambut riang pandangan Ramli. Ia berdiri menyambutnya. Say hello sejenak yang membuatku sedikit canggung atas sikapnya yang berlebihan, menurutku. Pernikahanku begitu sempurna sampai suatu ketika perempuan itu sering menelfon Ramli. Berkisah hal-hal kecil yang menurutku tidak wajar, dan Ramli menyikapinya biasa saja, tanpa sembunyi dan tanpa tendensi penolakan.

    Sore itu kami sedang bergayut dalam kisah yang kami habiskan lewat tutur yang dibarengi tawa dan canda. Ponsel itu berdering dan aku melihat nama perempuan itu di layar. Penolakan halus kusampaikan padanya untuk mengabaikannya. Untuk pertama kali ia menolakku sembari mengecup kecil. Ia bertelfon ria di hadapanku, dengan tetap merangkulku. Sebuah kebodohan yang akhirnya memintaku mengiba sebuah penjelasan darinya. Pemutusan hubungan dan pemblokiran nomor,  karena ia mengatakan menolak telfon seorang teman lama akan sangat membuatnya tidak nyaman. Ia menurut, memblokir dan menjadi manis. Tetapi tidak sungguhan.

    Pernikahan membawaku pada fase kehamilan. Awal dari sebuah sukacita. Gerbang ke sempurnanya peranku sebagai seorang istri. Melawan lemas dan mual yang datang tanpa kompromi bahkan membuat kakiku membengkak. Jarum jam di rumahku mengalur kian melambat dan Ramli semakin sibuk sendiri di luar—tanpaku—entah melakukan apa. Alasan-alasan yang begitu logis pada dasarnya. Aku memahami sebuah kamuflase adalah pengalihan untuk sebuah terus-terang yang terselubung. Hari itu, kala aku harus pulang lebih dini karena perutku yang menumpahkan seisiku ke permukaan. Aku menyadari betapa bodohnya aku untuk sebuah kesalahan—menikah dengannya. Namun, itu belum babak thrillernya, lebih tragisnya aku merasakan kepiluan yang menusuk dadaku menghujam hingga merobek seluruh aku. Namun, demi bayiku aku bertahan. Sebuah stiletto pink yang persis seperti punyaku ada di rak sepatu. Sepatu hadiah dari Ramli. Tetapi tunggu! Itu bukan punyaku, nomornya dua tingkat di atasku. Bibirku bergetar dan sungguh aku hancur. Aku menangis tanpa isak untuk sebuah kisah yang akhirnya tanpa perlu diurai aku sudah mengetahui akhir terburuknya. Dengan marah yang dibalut pedih, aku mengeluarkan kunci serapku dari dalam tas kecilku. Berjalan ke samping serasa detektif amatiran. Tanganku melekat pada perutku seolah memeluk bayi kecilku. Bertahanlah nak. Jangan sedih. Kamu tidak akan kuat—biar ibu saja. Ibu bisa. Ya, kita bisa sayang. Entahlah, apakah kami benar-benar profesional sehingga begitu lihai membuka dan mendongak dengan leluasa adegan itu atau mereka begitu asyik hingga menganggap dunia milik berdua? Aku tidak yakin yang pertama. Kamu? Kupegang perutku dan ia berontak mengatakan setuju.

    Sundal dan lelakiku yang bukan lagi milikku itu gelagapan merapikan diri. Merangkai yang terjuntai dan menarik yang terjulur. Kontan aku ambruk dan kurasakan duniaku gelap. Sebegitu bercandanyakah semesta hingga mengaduk sebuah dosa begitu naluriah, lumrah dan beradab? Dosa yang beradab! Ya, dan itu mematikan—kala aku membuka mata, kudapati aku di rumahku, di ranjangku dan dua sejoli itu ada di sana. Menunjukkan kepanikan dalam romansa erotisnya sebuah risau yang pura-pura. Adakah tangan untukku bertopang? Gelombang ini terlalu menyesakkan. Aku butuh oksigen! Tabung! Ia sebuah kelegaan.

    Ia mengelus rambutku. Begitu lihai ia ingin menggantikanku dengan sundal itu, tubuhku berseru. Ya, ia ingin kematianmu, jangan mau! Sebahagianku lagi berseru. Mereka berkoar membuat remukku menciut dan beringsut dalam-dalam. Aku menutup mata. Berusaha meraih ponselku yang entah di mana. Lelakiku itu menatapku seolah bertanya, tetapi secercah ketenanganku membuatnya kelu. Ia pasti kaget! tubuhku berseru. Akhirnya dalam sekian detik aku mampu duduk dan ponselku ada di atas lemari dalam jangkauanku. Ia mengambilnya dengan lembut. “Istirahlah.” Sebuah ajakan penuh tendensi yang mengerikan. Dan, mereka menghabiskan malam itu di rumahku. Semesta jahanam. Malam itu, aku menghabiskan tangis tanpa isak. Tanpa suara dan tanpa siapapun kecuali diriku yang saling berperang denganku sendiri dan akhirnya kutemukan bahwa kegilaan milik mereka yang memang layak dijadikan gila. Aku mengambil beberapa berkas pentingku. Orang cerdas memang tidak akan berbuat bejat. Di atas lemari TV, dompet lelakiku dan tiga buah ponsel terletak. Segera kumasukkan ke dalam tasku selain sebuah ponsel yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku mengendap ke dapur dan akhirnya keluar dari rumahku bagaikan maling. Kukeluarkan ponselku setelah agak jauh dari rumah. John—rekanku, aku menelfonnya dan dia kelabakan. Dengan kecepatan cahaya, ia menjemputku di persimpangan gang rumahku.

    Tak butuh waktu lama untukku bisa berbincang sepuasnya dengannya di rumahnya. Ibunya membuatkanku semangkuk sop daging sapi hangat. Aku luruh di depan dua makhluk berhati mulia itu. Sebuah sisi keTuhanan yang mencoba merangkulku dalam syukur. Namun, saat itu remuk menyelimuti tanpa celah. Lebih dari satu jam aku meraung dan bercerita tanpa sekat keseganan. Bu Lucy memelukku erat. Ia menenangkanku hingga aku tertidur dalam lelah di sisinya. Aku terbangun lebih dini. Untuk akhirnya merasakan kehancuran yang tak bertepi. Sebuah siklus yang baru saja kunikmati harus kuhempas.

    Pagi itu, aku mengunjungi rumah itu dengan pengacaraku. John memilih demikian demi kesantunan publik. Ramli masih dengan Sang sundal dalam buai memabukkan dan sungguh ini semua terlalu cepat berlangsung sehingga aku seolah melihat figur orang lain dalam dirinya.

Apakah aku terlalu dibuai kebodohanku

Menikmati arus yang kian menjerumuskan

Sebuah ikatan yang seharusnya membahagiakan, bukan luka

Tak ada rasa, bahkan peduli

Rasamu bahkan kau jaja tanpa nilai

Ternyata kamu sudah sejauh itu dan aku harus mendayung rasa

Ke lautan tempatku berada. Tetapi, mengapa waktu seolah masih terlalu pagi?

Kuhempas rasaku, ku petik dadaku untuk berlalu dan mengusirmu ….

    Aku kelu di sudut ruang sidang. Sebuah tangga yang menindih jatuhku. Pengacaraku menatapku datar, kosong dan kelu. Aku kehilangan semua yang kuperjuangkan untuk dia bela selain perceraianku. Aku kehilangan rumah dan beberapa aset properti yang sejujurnya adalah jerih payahku sendiri, bahkan surat-surat aslinya ada padaku. Entahlah, yang jelas kejahatan itu ternyata begitu bengis dan haus. Ramli mampu memenangkan sidang tanpa panjang kali lebar. Menarik seluruh hak kepemilikan tanpa konfirmasi.  Sepertinya, dulu waktu begitu membuai dalam kewajaran yang seharusnya dilaksanakan. Pasca putusan pengadilan itu, aku hidup dalam kecukupan karena ATM dan dompetnya ada padaku. Bu lucy merawatku penuh cinta. Harapan seorang bayi mungil akan lahir sepertinya menambah rasa itu setingkat lebih tinggi. Hingga akhirnya, pagi itu aku merintih kesakitan. Ada risau yang membuatku terus-menerus memikirkan bayiku. Sungguh kegusaranku yang begitu asing dan membuatku tertekan. John dan Bu Lucy melarikanku ke rumah sakit. Bayiku diam tanpa pergerakan. Sebuah indikasi yang mengharuskanku di operasi dengan cepat. Sampai akhirnya dokter mengatakan aku harus rela kehilangan bayiku. John duduk di tepi ranjangku, tepat di sampingku. Aku tidak menangis, aku jenuh, aku hanya diam. Tanpa atma untuk terus bertahan hidup.

Bukankah aku sudah benar-benar kosong

siap diombangkan melayang melebur dengan debu?

Adakah esensi dari sebuah harap yang dicabik dan dicuri?

Aku menangis walau dalam sunggingan

Berteriak dalam isakku

Lalu, jika kalah adalah kodratku

Haruskah mimpiku kau boyong dan aku kau tawan?

Pada atma terguncang, kuselipkan doa dalam kepapaanku

Bukankah aku masih harus bergerak, maju dan berlari?

Aku percaya, ada keajaiban yang menanti di setiap peluang

Yaitu kasih karunia.   

***

John masih menjadi sahabat baikku. Bahkan seperti seorang saudara lelaki buatku. Kami membuka pusat rehabilitasi di tiga penjuru kota. Aku benar-benar mampu menikmati kehilanganku dan menjadi benar-benar lupa makna ditinggal dan kesepian. Sore itu kami kedatangan seorang pasien—Ramli. Markonah meracuninya dengan nyabu, walaupun aku sangsi bahwa ia hanya membela diri. Ia begitu akut dan sepertinya rumah itu akan dijual oleh sundal itu. Aku melihat Markonah diangkut ke kantor polisi dengan kasus yang sama dengan ramli untuk akhirnya menanti waktu yang serasa berhenti itu.

Ramli akan membaik, tetapi tidak sungguhan. Sebab kesungguhan adalah milik selaksa pemikir yang penuh kasih. Namun, aku akan mendampingi perjalananya sebab tuntunan sebuah profesionalitas adalah sebuah kemutlakan yang manusiawi dan wujud aku benar-benar lepas dari luka masa lalu. Sesederhana itu.

TENTANG PENULIS

Erlina Siahaan, lahir dan besar di pematangsiantar sejak 32 tahun silam. Lulusan pendidikan kimia dari salah satu universitas negeri di Pulau Sumatera ini bekerja sebagai staff pengajar di SMP Negeri 4 Pematangsiantar sejak tahun 2009. Mulai aktif menulis sejak tahun 2019 dan sudah memiliki puluhan buku antologi. Baginya menulis adalah sebuah relaksasi dan resitasi bahkan sebuah self healing— mengguratkan kisah melepaskan beban untuk tetap mewaraskan nalar. Informasi dan silaturahmi melalui email: erlinasiahaan@gmail.com; Fb: Erlina Siahaan; Ig: Erlina Siahaan16; Blog: erlinasiahaan.blogspot.com   





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS