Adelaide took my heart

Adelaide, i'm in loved

Aku begitu menggilai Adelaide. Lebih dari Adellie—tetangga baruku sejak di North Terrace. Esensi eksotisme yang lahir saat melafalkan kedua nama itu. Adelaide—kota pesisir metropolitan yang terletak di Samudra  Selatan bagian Australia, kota indah yang meliuk di antara perbukitan dan samudera. Sungguh, rinduku pada Indonesia sedikit terobati di sini. Bukankah harus ada rindu yang harus disimpan dalam-dalam, bahkan aku harus belajar mengabaikan rasa itu demi sebuah cita-cita? Harapan esok yang harus sukses.

Malam itu, aku minum dengan para tetangga di tepian pantai Fleurieu. Menikmati anggur dan berbagai kuliner luar biasa lainnya. Sebagian besar sangat aneh rasanya di lidahku. Kecuali seorang gadis yang mampu membuatnya kelu. Aku nyaris mengunyah dan menelan lidahku. Ini gila. Ia menari dengan erotis sambil memainkan akrobat gelasnya. Meliuk di antara pengunjung laki-laki yang mulai menikmati gerakannya. Aku, entah mengapa tidak menyukai pandangan-pandangan aneh yang tertuju padanya. Padahal, aku bahkan tidak pernah bersua dengannya sebelumnya. Ia tampak bergoyang penuh tekanan. Esensi terpaksa yang kian ia transfer padaku. Refleks, kubuka jaketku, kututupi tubuh berpakaian minim itu dan aku menggendongnya. Menjauhi keramaian dan dia hanya terdiam. Tanpa perlawanan. Aku lalu menurunkannya dan kami sama-sama kelabakan. Ah, entahlah. Pahamkah kamu permainan semesta dalam mempertemukan rasa? Memainkan gejolak-gejolak dalam dada dan netra yang terhipnotis? Ia begitu cantik. Hidungnya mancung seperti pegunungan yang menjulang di Adelaide sendiri.
Akhirnya, kami bercerita dan ia hanya bisa menangis. Aku iba seolah berkabung untuknya. Merasakan sakit dan entah mengapa aku seperti bertanggung jawab atas separuhnya. Ia merapikan rambutnya dan tanpa menanyakan namanya aku meminta membawanya pulang dan ternyata rumahnya tepat di sebelah rumahku.

Hari-hari berjalan menjadi kadang bernuansa peach saat dia muncul berdendang di teras. Dan suram kala seorang lelaki datang ke rumahnya tanpa banyak bicara. Mereka akan saling membisu dan hanya sesekali lelaki itu melafalkan beberapa kata. Bagaimana aku mengetahuinya? Jangan mengejekku, aku akan menempelkan telingaku tepat pada sebuah dinding pembatas rumahku dan rumahnya. Entahlah, ia mampu membuatku memikirkannya sepanjang hari jika di rumah. Namun, saat aku memandang ke bawah semenanjung Fleurieu, liuk-liuk permukaannya mampu mempesonaku. Burung-burung akan beterbangan rendah di sekitarku dan barisan Pegunungan Mount Lofty berjejer apik menentramkan semesta. Aku bagaikan menatap deretakan Bukit Barisan yang mengalur dari Aceh sampai ke Sumatera. Tepatnya jika aku berada di beranda belakang rumahku, entahlah ... aku seperti berada di sana. Menikmati Kopi Koktong buatan ibu. Kopi yang dimasukkan dalam stainles dan direbus lama sampai uapnya merayap ke mana-mana bahkan sampai membuai saraf pusatku. Aku cinta Adelaide. Aku berencana menetap di sini. Namun, saat Adellie dikunjungi lelaki itu, aku ingin segera memeluk Bukit Barisan—aku akan menghabiskan seharianku di Mount Lofty. Berimaji tentang estetisnya semestaku. Hanya kala itu aku mampu mengalihkan Adellie dari bolus-bolus saraf pusatku.
Adellie, akan menyapaku di hari peach ku, memberi senyuman berirama dengan tampilan gigi-gigi putihnya. Namun tidak pagi itu. Lelaki itu datang dan masuk ke rumahku. Menagih yang tak kupunya. Memaki untuk sebuah kesalahan yang tak pernah nyata.
Adellie meraung dari rumahnya—dindingku memberitahuku dengan refleks. Itu sudah menjadi tugasnya.

Tuduhan aku merebut Adellie darinya.
"Baik, jika ia menolak kunikahi,bayarkan hutangnya!"

Ia memaki setelah meninjuku sekali. Aku meringis, lalu semua nyata dalam sarafku. Aku berdiri, mengimbangi permainan satu-satu. Ia memegangi dagunya yang perih. Aku kalut membela Adellie karena jujur aku bahkan tidak memahami dia. Apalagi persoalan menikah, hutang dan tagihan ini. Satu yang menentramkanku—sama seperti saat ibuku menyuguhiku segelas Kopi Koktong dengan aromanya yang menyelinap ke mana-mana. Ia mau menikah denganku. Entahlah, aku seperti diberi buai yang menyenangkan dan membuat jiwaku menari-nari. Segera kulemparkan setumpuk uang kertas padanya. Membentaknya berlalu dan memberi sedikit tendensi untuk tidak muncul lagi. Ia ketakutan, lalu dengan tergesa memunguti amplop dan berlalu dengan sebuah penghormatan.

Aku berjalan memasuki rumah Adellie. Ia tampak kaku dengan senyum terpaksa. Raut wajahnya berat. Aku duduk di sebelahnya, merangkulnya dengan mesra dan ia menangis sesenggukan dalam dadaku. Sungguh, aku seolah memahami dan menjadi separuhnya. Entahlah, Tuhan kadang bercanda dengan memberi kisah  yang begitu dramatis dan sempurna untuk dapat diterima akal. Yang jelas, tujuanku semakin mantap untuk menetap di Adelaide. Ada Adellie yang kecantikannya melebihi Adelaide itu sendiri, sekarang.

Komentar

  1. Wuah ... so romantic. Suka. Keren Kak๐Ÿ˜๐Ÿ‘

    BalasHapus
  2. Ini bakal tambah keren kalo penggambaran latarnya lebih detail. Sama dikasih dialog tag kayaknya bikin tambah seru deh. Ihiiiw...
    Syukaa syukaa ๐Ÿ˜๐Ÿ˜๐Ÿ˜
    Calon-calon anak kelas fiksi nih ๐Ÿ˜˜

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pengennya jg punya buku motivasi. Gmn ya kira2 hahahha

      Hapus
  3. Balasan
    1. Thankyou kk rusmi. So sory yang kemarennn akakkkk

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS