Jamilah Part 2. Berbunga berkabung

Jamilah menari. Menghempaskan kesal di sebuah relung yang tak seorangpun pernah tau. Membuang cela yang seolah melekat padanya. Ekstrimistis. Benalu. Boomerang.

"Wow, Mila keren sekali!" penonton bersorak. Memuji. Fanatis.

"Fantastis. Gerakannya kian merangsang." seorang anak muda tergopoh mundur ke belakang. Libidonya membuatnya sesak sendiri. Ia tumbang ditelan imaji yang tak kuasa ia kuasai. Syukurlah di ujungnya ia mengetahui sebuah takdir semesta tidak akan pernah tergugat. Sakral—entitas yang tidak akan pernah bisa ia gapai.

Ia dan Milah bagai langit dan sahara di bawah tanah. Bumipun jauh dari jangkauannya. Ia menelan dirinya sendiri. Membenamkan jiwanya dalam kelu. Berlari menjauhi keramaian. Namun, tak sungguh ikhlas. Kebenaran memang hakiki. Menyekat ningrat jauh dari jangkauan, namun tak sungguh memisahkannya. Ia membenamkan dirinya. Berusaha mengubur rasa yang semakin bergejolak merasuki. Ia kesal, mengapa harus Jamilah. Mengapa? Ia makin memasrahkan diri pada sahara bawah tanah menelannya tanpa bekas. Sanggupkah ia? Nyatanya, sesak dan hanya bau tengik dari tanah yang mampu ia raih. Kesakitan dan kepedihan kian menari dalam imajinya.

"Uccok!" seorang wanita paruh baya dengan gading di lehernya mendekatinya. Volume yang seolah mustahil keluar dari sebuah bibir mungil cantik yang hanya berucap lirih itu.
Lelaki itu tampak kaget. Merapikan dirinya yang terlentang di tanah. Membersihkan raut wajah yang penuh debu.
"Ah, lagi-lagi kau menciumi tanah! Sudah kubilang, biarkan. Biarkan pikiranmu berlari meninggalkanmu. Kau tidak akan mampu merajainya. Sudah terlalu lama kau menimbunnya di sana!" Ia memejamkan mata. Melihat sesuatu di bawah yang bisa netra transfer untuk diamati. Bibirnya tampak bergetar. Lekukan di kedua sudutnya sesekali menaik dan menurun. Berirama. "Tapi, sejujurnya siapakah gadis bermahkota yang berusaha kau sembunyikan, Cok?" Ia tertegun. Sebuah penglihatan yang tak mampu ia lihat. Kabur. Suram.
Uccok berusaha mengalihkan fokus tatapannya. Ia tau Mak Saleh bisa melihat bayangan dalam bolus-bolus saraf pusatnya jika pandangannya berpaut dengan matanya. Bayangan yang ia sendiripun tak berharap memilikinya. Imajinya memang liar. Ekstrim dan sulit tunduk pada nalar yang ia ukir dengan tegas. Antara rambu keningratan yang sekatnya tidak bisa ditembus oleh siapapun.
"Tidak apa-apa, Mak. Ada yang bisa saya bantu, Mak?" Lelaki itu memejamkan mata dan menukar fokus.

Mak Saleh menatapnya. Ia yakin anak muda di depannya punya kuasa yang belum terdeteksi. "Bawa Jamilah pulang. Suruh penduduk pulang. Sudah larut!" Ia lalu berputar haluan. Meninggalkan Uccok menuju sebuah gapura. Gapura itu tampaknya menghubungkan pekarangan dengan rumah besar di sudut timurnya.
Uccok menghela nafas. Syukurlah. Rahasia takkan pernah terkuak. Ia harus menutupinya dari Mak Saleh. Tetapi sampai kapan? Bukankah penguasa setempat mengetahui entitas terkecilpun dalam Kampung Berbunga?
Uccok menuju keramaian. Membaur dengan tatapan-tatapan terkesan dan bangga pada akrobat di hadapan mereka. Beberapa bahkan terangsang. Terbuai bahkan ereksi dalam posisi tetap diam. Fantastis!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS