Madesu (Makemak Demen Suka-Suka)

Bagai irama musik di acara syukuran tunangan seorang anak perawan teman. Berdentuman merdu terpecah oleh lantunan lagu yang kadang falset. Jangan pesimis, itu karena kami yang menguasai panggung.
Vokalisnya vakum bagai terpasung—pasrah. Atau lebih tepatnya serasa minoritas dalam pertunjukan tunggal mereka.

Tapi kami tertawa bersama.

Aneh bukan?

Maaf, kami bukan spesies sekelas alien. Bukan sapiens apalagi hobbit yang katanya inteligen kayak aggen FBI itu.

Wait! Kami jebolan test ASN di masanya.

Lalu, siapa peduli akan hal itu?
Sejujurnya kami adalah jiwa-jiwa toleran.

Kadang, bukan! Lebih tepatnya cenderung memiliki empati yang berlebihan.
Pada situasi tertentu, ada reflektor yang merefleksikannya pada kami. Bukan label yang kami pajang sendiri. Hahahahaha ....

Hanya, kadang kejenuhan dan beban dalam bolus-bolus sensorik yang mengendap akan sensitif bila mendeteksi irama teratur yang kalian sebut nada. Kami bahkan tak begitu peduli jika ia dinamai nada. Kami punya banyak nada di rumah kedua kami. Bedanya, di sini nada bisa mengendorkan bahkan mencairkan kebekuan yang mulai mengeras mengukir lelah. Di sana, nada itu tidak boleh diketik huruf kecil. Harus diawali huruf besar.

Bayangkan nada apakah yang harus diawali huruf besar?

Ayolah ... temukan jawabnya.

Yes! Anda nilai seratus!

Ia murid-murid kami. Yang kadang lupa makna namanya. Ia kadang berkoar tak beraturan. Seharusnya ia bukan nada—pada kasus saat itu. Chaos. Tetapi, esok lusanya ia berubah manis dan ceriwis. Kami lalu akan terbahak melupakan aturan pemberian oktaf dan mengabaikan tanda ketuk yang berbirama itu.

Ia tetap Nada yang kami cintai. Di dada kami saat kami mengkaji abjad dan angka dengan pola-pola hologram. Tertuang pada berbagai sajian subjek. Kami meletakkan sebongkah asa di dadanya. Semoga kelak bisa bersinar bak mentari sinari dunia. Cerah. Benderang. Briliant.

Persetan.

Kami hanya ingin bersenang-senang seketika.

Kami guru. Lalu, salahkah kami mulai merambah ke dunia tarik suara? Terlepas dari luaran yang akan melantun mengikuti rambatan udara—menepi dengan langkah kasar dan mengganggu di teras telingamu yang hangat itu.

Kami bukan artis apalagi selebritis. Bukan pula sok eksis apalagi narsis. Hanya ingin rileks dan cerdas melihat hiburan gratis.

Ini gratis bukan sembarang gratisan. Saat teman kami berpesta maka itu adalah pesta kami. Harus disukseskan lebih sakral dari pemilu dengan tim sukses yang dibayarin sekalipun.

Lalu, dendang andalan berseliweran di seluruh medan pesta.

Penonton mulai riuh.
Mereka mulai memfokuskan netra.

Dendang kami ternyata tak seburuk penafsiranmu. Kami punya pelantun emas. Jangan ragukan. Hanya kadang kami terlalu merendah.

Kami kan guru! :p

Lalu, intinya?

Kami bahagia, itu saja!

Temannya?

Bahagia juga!

Yakin?

Pasti. Kami kan tim horay yang membuat semarak melebihi semarak di hati kami masing-masing.

Sebegitukah?

Ya. Begitulah! Fingerprint dan rutinitas lain—terlebih sebagai ibu terlalu menyita seluruh kami tanpa konsep dasar yang terintegrasi. Lalu, jika pemusik dan audience  adalah sesama kalangan sendiri, haruskah kami melewatkannya begitu saja?

Wait! Berarti bukan acara besar donk?

Bah! Besarlah. Hanya memang kami kan suka merendah. Ramah. Rajin menabung dan tidak sombong.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS