Sengketa Rasa

Hari ini aku menelusuri tepian pantai dengan ibu. Seperti biasanya. Rutinitas. Ritual.

Kali ini dia tampak murung. Mengamati mercusuar di lepas pantai. Ini tidak seperti biasanya. Asing. Pragmatis.

Agak lama kami berdiam diri. Sesekali ibuku merapikan rambutku yang berkibar mengepak semesta. Sehingga tatapan kosong dan seringai itu mampu dengan mudah kutangkap. Ia tersenyum getir
Seperti biasa. Lalu terbahak sebentar dan akhirnya kembali diam.

"Kau tau Seruni, ayahmu itu bajingan. Ia pergi memilih pantai dan melupakan kita." Kembali ibuku berkisah untuk kesekian kali dalam satu hari ini. Mata bulat mungilku memandangi ibu. Berusaha menemukan keresahan yang mengabur dengan riak-riak mimik yang sulit kutafsirkan. Aku tau ia sedih. Lalu, tangannya kugenggam erat. Bagaimanapun ia adalah duniaku. Saat ibu begini, aku akan merasakan kesepian. Merindukan hangatnya pelukannya dengan tatapannya yang menyala-nyala dengan mimpi dan harapan di esok kami.

***
"Runi ... lihat ibu bawa ayam goreng yang ada tepung garingnya!" Ia tergesa sama sepertiku yang berlari cepat meninggalkan lapak mainanku sekaligus tempat tinggal untuk kami.
"Mana, Bu?"
"Ini ... ini sayang. Ini, lihatlah ...." ibu membuka sebuah kertas kresek hitam di antara beberapa plastik bekas lain.
"Lihat! Tepungnya masih utuh, Nak. Lihatlah ... orang-orang memang kurang bersyukur dengan menghambur-hamburkan makanan begini." Ia ibuku, membuka bungkusan itu dengan sempurna di hadapanku. Kilatan-kilatan selera bertumpah-ruah dari diriku. Membanjiri wajah ibu. Ia menikmati esensi itu bagaikan berenang di lepas pantai yang ada mercusuar itu.

Kata ibu. Bagaimanapun kejamnya ayah meninggalkan kami dengan lebih memilih pantai yang sekalian membawa perahu kami, ia tetaplah ayahku. Cinta ibu tidak akan pernah surut. Namun, ia tak jua surut memaki jika mengingat ayah.

Aku melihat dua potong ayam yang bertepung yang sudah tidak utuh. Mustahil ada orang membuangnya jika masih utuh bukan? Tetapi, ini bagaikan rejeki jika kulihat dari sisiku. Bukan pemborosan dan semantik sejenisnya. Tuhan menebarkan berkat tidak harus menurunkan ayam goreng tepung dari langit bukan? Ia memberkati orang-orang pilihanNya dan menjadikannya untuk memberkati orang-orang pilihanNya yang lain. Bedanya, hanya kedua sisi kehidupan yang berbeda. Bagaikan dua sisi mata uang yang saling berpendar namun tak pernah saling meninggalkan. Simbiosis. Mutualisme. Elegi dari esensi kehidupan nyata membawa sebuah syukur.
"Bu, ambil satu dan sisanya biar jadi bagianku." Aku mengangkat bungkusan itu dan menyodorkannya tepat di hadapan ibu.
"Wah, ibu sudah kenyang, Nak! Makanlah biar kamu cepat besar dan bisa mengendalikan mercusuar di lepas pantai. Oh tidak, sebaiknya kamu memangkasnya rata dengan pantai. Ia dahulu bajingan." Ibu seperti membayangkan sesuatu dengan geram. Gemertak pada kedua rahangnya menghunus menghujam semesta.
Aku tau, ia akan menangis sendu. Untuk akhirnya tertawa. Tetapi, saat matanya menatap wajahku. Ia akan tertegun dan ia akan menangis getir. Ia akan memelukku erat. Ah, ia ibuku yang sempurna.

Kata ibuku. Ayahku adalah mercusuar di lepas pantai. Ia dikutuk karena waktu ayah berlayar dengan teman-teman nelayannya. Mereka dikunjungi oleh gelombang yang memikat. Ia penggoda!
Begitu ibuku menjuluki gelombang itu. Ayahku lalu terpikat. Tergoda dan memilih tinggal di dasar pantai bersama anak-anak gelombang tersebut. Ayahku bajingan, katanya. Karena ia lupa padaku. Padahal aku menunggunya pagi, siang, sore dan malam. Namun, karena Tuhan sayang pada ibu. Ibu dihadiahi oleh Tuhan sebuah mercusuar sebagai ganti ayahku. Ia lebih siaga menjaga kami. Rumah gelap kami yang lebih mirip persinggahan untuk para nelayan sejenak kala pulang melaut hanya akan terang pada malam hari jika lampu sorot mercusuar itu tepat menghadap ke rumah kami.
Kata ibu, itu ruh ayah yang tetap siaga menjaga kami.

***
Aku menghabiskan makananku dan tetap menyisakan satu untuk ibu. Dua buah cekungan yang lebih mirip sahara kering yang menganga di kedua pipinya membuatku memahami bahwa ibu belum makan. Aku berlari keluar rumah dan bermain dengan pasir dan kulit kerang yang sudah tak bertuam itu.

Lalu, kulihat beberapa orang berpaikan cokelat mendekati tubir pantai. Menunjuk-nunjuk ke arah mercusuar.

"Mercusuar itu harus diberi lampu tambahan. Pastikan pantai benar-benar terang di malam hari. Pembukaan festival budaya akan menyita dua hari penuh." Seorang bapak yang gemuk itu terdiam saat aku berjalan mendekati mereka. "Siapa dia? Mengapa ada anak-anak di pinggir pantai?" Ia bertanya pada bapak yang tampak sangat hormat kepadanya. "Anu, Pak! Ia anak wanita yang kurang waras yang tinggal di gubuk itu." Ia menunjuk rumah kami. Aku memahami makna kalimatnya barusan. Aku menatap padanya meminta sebuah pertanggungjawaban atas tuduhan kriminalitas itu. Namun, aku tak kuasa berucap.
Aku menghimpun keberanianku. Bagaimanapun aku tidak suka ibuku dituduh begitu. "Pak! Jangan bilang ibu begitu. Ibuku memberiku makan dan merawatku. Ia mengajariku banyak hal hingga aku paham antara orang baik dan orang jahat." Aku memilin tepian rokku. "Oh, ya?" Bapak yang gemuk itu mendekatiku. "Lalu, saya termasuk ke mana? Orang baik atau jahat?" Ia menatapku dengan senyuman teduh. Tangan kanannya menyentuh pundakku. Aku tau sentuhan itu tidak berbahaya. Ia bersahabat.
Aku menatapnya, "Bapak sebenarnya baik. Tetapi, jangan biarkan kata-kata bapak tadi menjadikan bapak jahat dengan menganggap ibuku kurang waras." Aku menunduk dan mataku terasa panas. Ada bulir bening jatuh dan tepat mengenai tangannya yang duduk dengan sikap jongkok di hadapanku.

Ia lalu mengajakku ke rumah. Mengamati rumah kami dan mengetahui seluruh isinya hanya dalam satu detik. Entah bagaimana. Aku dan ibu mengikutinya. Mereka mengajak kami ke sebuah kompleks di mana rumah-rumah tersusun berdempet-dempet dan tetap tertata rapi. Kami menempati rumah nomor 2. Bapak itu memberikanku beberapa lembar uang kertas. "Tabung dan pakai jika kamu memerlukannya." Ia berlalu dengan menepuk bahu ibu. "Kuatlah. Putrimu harus tumbuh besar dan sukses!" Ibu tampak menghayati kata-katanya dan aku kembali melihat kilatan harapan dan mimpi akan hari esok di mata ibuku. Yah, ia ibuku dan tetap akan menjadi ibuku.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS