di Balik Senyuman

Aku berseru-seru kepada alam. Senja merona kemerahan pertanda ingin membuaiku dengan sejuta lagu nina bobo menjelang ia sembunyi. Keteduhan yang tak jua mekarkan jiwaku. Kemuraman kian mengontras tergurat di bilik-bilik jantungku. Malam ini akan semakin genting!

Kapankah malam-malam terik ini benar-benar menyatu dengan lelap, membuai Sheena dalam ayunan dan menitipkan mimpi-mimpi pengganti letih pada raut wajah ibu yang mulai turun menyisakan dua buah kubangan cekung yang kian menjorok ke bagian dalam. 

"Zain! Pastikan semua surat-surat berharga sudah kamu susun dalam ranselmu, jangan sampai ketinggalan." Ibu mengingatkanku.

"Sudah, Mak. Nyai Laras sudah mengingatkanku." aku berusaha meyakinkan sesuatu yang aku tau hanya menyisakan bimbang untuk ditangkap mamak. 
Ia mendesah panjang sekali. Sepanjang ladang cabainya yang sudah rusak dilalap lahar panas seminggu yang lalu. BMKG memberitakan gelombang vulkanik meningkat. Puncaknya adalah malam ini. Lalu, harus ke manakah kami beradu, mengadu dan menitipkan mimpi bahkan nyawa kami masing-masing sementara kami harus di sini. Nyi Laras adalah pimpinan kami. Sesosok kuat, suci dan mandraguna. Ia memberitakan, tidak diperbolehkan meninggalkan daerah kami. Sang penguasa bisa murka melahap semuanya dalam luapan yang lebih mirip muntahan kebencian yang habis membumi-hanguskan kemakmuran tanah subur kebanggaan kami. 

Kemarin, aku melihat mereka mendatangi gunung di atas bukit itu. 
Membakar kemenyan dan melantunkan doa-doa persembahan. Sepertinya ada jawaban. Hujan rintik-rintik turun begitu mereka selesai berdoa, namun hanya sejenak. Semua terkesima. Seminggu lebih tidak ada hujan membuat semua terasa penuh debu, bahkan wajah Nyi Laras kemarin berkerut-kerut.

"Kita harus lebih banyak berdoa sepertinya," ucap ibuku, "Penguasa jagat sepertinya murka bukan alang kepelang."



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS