Selaksa Dosa yang Mengayuh Pergi


Aku lelah diam dalam tangisku. Wajahku sesak mengukir senyum terhempas cadas yang kian mirip seringai. Mataku jemu menyembunyikan laguna yang mengiba terurai. Sesat ditelan nestapa. Remuk tertindih kemelut hidup. Salib derita patahkan tulang, mengais mimpi tak jua kuterjaga. Malam-malam mulai berbaris rapat, dari Januari hingga pengakhiran. Setia menunggu giliran untuk mengabdi pemuas birahi. Bukan! Dengarkan aku, ini sebuah suratan, bukanlah hasrat. Bukankah semesta menggiringku kala siang membabu menyokong hidup?
Zain menemukan sebentuk wajah pada cermin datar di hadapannya. Wajah itu, sesungguhnya cantik dan menggoda dengan lipstick soft baby pink. Mata redup itu seolah menagih fakta. “Mengapa takut Zain? Begitu sulitkah melangkah pergi, setelah datang dan bertahan bukanlah soal?” Zain mengerahkan fokusnya ke cermin. Tak ada diksi yang mampu ia lafalkan—memilih bungkam. “Lihat aku! Sampai kapan keriput menelan kecantikanku? Sampai kapan mata ini kehilangan binar? Jawablah aku, mengapa diam?” Zain tiba-tiba tersadar, raganya mulai berontak atas lamunan yang semakin panjang dan hari yang seolah behenti. Wajahnya memenuhi hampir seperdua dari permukaan kaca.
“Mom! Sudah sore, Lika lapar, makan sama yuk!” Alika memainkan mata bulat jernihnya pada ibunya. Zain mengalihkan fokus pada putrinya. Dengan cekatan tangan mahirnya menyiapkan daging rendang saos andaliman di atas meja. Putrinya melahapnya. “Makanlah sebelum ayahmu datang!” Zain mengelus rambutnya dengan senyum yang merekah di wajahnya. Namun, kegundahan menyesakkannya. “Mengapa sih ma, Papa suka ngantarin mami pergi kerja malam-malam? Sampai kapan Alika bobok sendiri mami? Zain menatap anaknya. Putrinya yang kian menggemaskan sebagai pengganti guling itu sudah mulai kritis. Tusukan-tusukan paku seolah dihentakkan ke dalam jiwa Zain. “Alika, apapun yang mami kerjakan adalah untuk kebaikan kamu sayang. Rejeki mama mungkin masih begitu. Semoga nanti mama bisa kerja siang hari, sehigga malamnya bisa meluk Alika, deh! Ingat pesan mami, jangan rewel sama nenek ya?” Zain berusaha mengapresiasi putrinya—Alika, yang mengangguk dengan pasti.
Lalu, suara gerbang yang terbuat dari baja itupun berderak, Alphard metalik glossy masuk dengan mulusnya, lalu diikuti gerakan otomatis, gerbang itu menutup kembali. Seorang pria beratribut elegan dan seorang wanita paruh baya keluar dari dalam mobil. Alika berlari bergayut di pangkuan wanita paruh baya yang masih memiliki perawakan modis dan menarik itu. Mereka tertawa, Zain mual, bagaimanapun sandiwara ini mulai memuakkan. Senyum dan pelukan palsu!
“Kami berangkat dulu ma, tolong jaga Alika ya!”
“Itu tidak masalah. Yang kusangsikan malah istrimu! Ingat Bonar, pelayanannya taruhan Limsdandy.” Mata keduanya berbinar merespon nama Limsdandy—perumahan real estate yang akan dihadiahi pada Bonar jika istrinya kembali mengenyangkan birahi owner-nya untuk kesekian kali. Guyonan semesta yang tak jua menyurutkan getir dalam diri wanita itu. Ia beringsut beberapa langkah ke belakang. Tetapi, landainya garasi hanya menyisakan kakinya yang nyaris tumbang untuk tumpuan kakinya. Ini gila! Bagaimana mereka memainkan peranan Gabriel dan Zeus dalam satu waktu pada scene yang sama? Ia berontak. Namun, hanya dalam dadanya saja.
“Kerja yang professional Zain! Ini yang terakhir sama dia. Ingat, Limsdandy akan jatuh pada kita!” Wanita paruh baya itu menjeda luapan gejolak kegembiraan yang tiada ditutupi sedikitpun, walau  melihat respon Zain menunduk. “Hei, itu anugerah Zain! Bentuk pengabdianmu pada suami dan Alika. Bukankah kita bahagia hidup dalam rumah mewah ini?” Ia terkekeh bangga. Puas pada prestasi yang sesungguhnya adalah ketabuan dan dosa yang memuakkan. Zain terdiam. Memberi komentar bisa meluapkan tsunami menjijikkan itu. “Iya, Bu!” lalu kalimat manis yang memuakkan itu terlontar pasrah memekarkan senyum wanita paruh baya tersebut.
“Sudah, kita berangkat yuk!” Bonar memasuki mobil, menghidupakan mobil dengan gagah. Mobil itu segera melesat dengan kecepatan cahaya, seolah tak sabar memeluk Limsdandy. Bonar melirik istrinya. Ia meraih jemari dan mengelusnya dengan mesra. Ia benar-benar bahagia. “Sabarlah sayang. Ini yang terakhir.” Ia mengalihkan fokusnya ke hamparan hitam di jalurnya yang kian macet. “Bon, ini membuatku gila!” iris pada mata bulatnya menggenang lalu memilih jatuh menyatu dengan jagat. “Aku lebih baik mati jika aku kau lacurkan begini! Ini maksiat Bon! Aku tidak bisa. Tidak….” Ia tumbang. Jatuh terhempas dari pertahanan yang selama ini ia rangkai dalam urai air mata. “Pertama kamu bilang hanya untuk menyelamatkan kita dari kelaparan. Kedua kamu bilang untuk hangatnya sebuah hunian. Ketiga kamu katakan demi sebuah kenderaan, lalu ketamakan memburumu dan kau menumbalkanku.” Ia menghimpun keberaniannya. Ternyata setelah fase kalimat pertama terlontar, ia juga mengusir fase-fase ketakutan yang selama ini ia jadikan dalih untuk berontak. “Mengertilah. Ini sudah keterlaluan. Marilah pulang dan lupakan Limsdandy.”
Mobil melaju dengan brutal—meratakan jalanan kosong. “Coba, bayangkan saat dia memperlakukan aku layaknya kamu, apakah tiada tersisa pedih di hatimu?” Ia kembali terisak. Mobil berhenti. Tepat di tol menuju Limsdandy. “Begitu sulitkah menghadiahiku apartemen mewah itu dengan satu jam bersamanya?” Bonar tampak sesat dengan imaji konglomerat yang ia peluk erat. “Iya! Dan, itu nonsense….” Bonar kesal. “Apa susahnya?” Ia menantang diselimuti keserakahan tiada berkesudahan. “Bon, itu menjijikkan!” Butet menangis sejadi-jadinya. Sesak di dadanya ia tumpahkan dengan puas. Lalu, ia luruh. Tersendat dan akhirnya jatuh di pangkuan Bonar.
Kepanikan memenuhi wajah Bonar. Mobil segera melesat mengimbangi kecepatan cahaya. Menerobos angin dan meninggalkan tujuan menuju Limsdandy. Kecamuk bergejolak dalam diri pria yang nyaris tak mampu membedakan antara serakah dan perasaan. Ia sesat dan benar-benar kehilangan akal sehat. Ibunya mendoktrinnya dengan hebat, sayangnya di jalan sesat. Kini, ia mulai panik. Butet tidak pernah sakit sebelumnya, apakah si jahanam itu menghamilinya sehingga ia lemah? Sifiliskah? Raja singakah? AIDSkah? Ia bergulat dalam kepalanya. Lalu, ia mulai di hadapkan dengan kematian. Ke langit mana ia mencari Butet jika Butet meninggal? Akh, bukankah gubuk tua di pinggiran pesisir sudah bukan lagi pelengkap deritanya?
Malam itu, Alika demam, Zain menjadi dokter spesial untuk putrinya. Mengoleskan minyak goreng yang dicampur jeruk nipis dan rempah seadanya. Ia tampak panik dan lelah. Kemelut itu menyisakan kantong lebar di bawah matanya. Tampaknya ia kurang tidur. Hujan deras dan empat buah ember menampung guyurannya dengan pantulan percikan-percikan yang menggenangi sekelilingnya. Guyurannya dikirim oleh atap rumbia yang menganga menghardik semesta tepat di tengah ruangan tunggal rumah itu. Tetapi, ia kokoh menjulang enggan untuk ambruk. Lalu, ibunya membisikkan sesuatu pada putranya. Seharian melahap ubi kayu rebus hasil ladang Butet, sepertinya membuatnya melihat peluang asing yang menjanjikan. Bonar marah. Memilih memaki ibunya dan menolak bisikan itu. lalu, saat esoknya demam Alika melonjak drastis membuatnya memutar otak buntunya.
Idenya memang nihil, sehingga hanya menyisakan ide tunggal ibunya di sana. Zain berontak. Meminta Bonar memikirkan pekerjaan. Lalu, detik demi detik Alika mulai tersenyum aneh, mengigau dan suhunya mendidih. Bonar mendesak, ibunya menyuntik, dan Zain bertemu kebuntuan setelah gagal mencari pinjaman dari tetangga. Ia menyerah! Pasrah dan pertahanannya roboh. Ia tak diberi pilihan selain menjadi sandera semesta. Lalu, dosa itu seolah alpa dari galaksi. Namun hebatnya, ia menyelamatkan Alika dan perut suami juga mertuanya. Lalu, ia malah tertawan—terjerat nafsu yang kian merasuki Bonar dan mertuanya. Sebegitu nistanyakah kaum hawa titipan pertiwi?

Kini, Zain terbaring di atas ranjang pasien. Seorang dokter menatapnya penuh selidik setelah menyelesaikan observasi medisnya. “Sepertinya saya pernah bertemu ibu! Di mana ya?” Butet terdiam, wajahnya memucat kian pasi. Lalu, dokter tampan itu memilih pergi setelah melirik Bonar seketika. “Senewen!” “Iya dok. Siapa yang senewen?” Perawat yang mendampinginya berkomentar saat mendengar dokter mengumpat. Dokter tersebut hanya terdiam mengingat suatu saat di kala Bonar menerima setumpukan uang.
Zain tersedu, dunia benar hanyalah selebar daun kelor. Ia tau, semangat Bonar takkan surut meraih keserakahan yang kian membesar tak karuan. Ia lalu meminta pulang ke rumah dan dirawat di rumah saja. Lalu, sore itu, ia mengunjungi sebuah Bank, menitipkan sejumlah uang di sana. Ia lalu menyimpan surat-surat rumahnya di Bank. Lalu, ia mulai mengepak barang seadanya dan ia menggandeng erat tangan Alika menjauhi rumah mewah beraksen britania yang ibarat makam baginya. Ia menelusuri badan bumi dan di sebuah sudut di sana. Ia memulai hidup berdua dengan putrinya. Jauh dari dunia kepalsuan yang menyesakkannya.





Tentang Penulis
Erlina Siahaan, Lulusan Universitas Negeri Medan Jurusan Pendidikan Kimia pada tahun 2009 ini mengabdi sebagai salah seorang staff pengajar di SMP Negeri 4 Kota Pematangsiantar. Menjadikan dunia literasi sebagai selfhealing mujarabnya. Sudah memiliki beberapa buku antologi dan dapat dihubungi lewat fb: gothic_zlash@yahoo.com ig: Erlina Siahaan16, Line: Erlina Siahaan Blog: erlinasiahaan.blogspot.com

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS