Sengketa Rasa (Part II)

Tepat 5.30 wib, sayup-sayup kepanikan dan kericuhan itu tertangkap telingaku. Aku terkesiap walau belum sungguhan menyatu dengan kesadaranku. Bunyinya kian kuat, gaduh, penuh emosi dan tendensi dari beberapa pemilik pita suara. Lagaknya aku mengenal warnanya masing-masing.

"Hei! Berani sekali kamu mencuri, hah?" seorang wanita, seperti pita suara milik Markonah, membabi buta beringas dengan luapan emosi tak terkendali. Emosinya bagai menganak sungai mengalirkan lahar murka.

"Sudahlah, Mar! Paling ia hanya akan diam ditanyain ... pura-pura senewen. Ih! Memalukan!" Ini jelas pita suara Nurbaya. 

Lalu mereka sama-sama menghujat, mencemoh dan menghakimi. Aku refleks bergerak cepat, segesit yang kubisa saat kata-kata pura-pura senewen dilontarkan Nurbaya. Ibuku dalam bahaya!

Begitulah hidup di kompleks ini. Perumahan yang bagi kami sangat luas dan nyaman dibanding rumah kumuh kami di Pantai Paris. Tetapi, bicara nyaman dan suka, aku pastikan di sini adalah nerakanya jagat. Manusia-manusia yang bergigi cantik menawan, namun tak jauh lebih mengerikan dari manusia serigala jadi-jadian. Mereka memiliki apresiasi di puncak Himalaya, menyapa penuh hormat saat muka bertemu wajahmu. Lalu, kala punggungmu menghadap padanya—tubuhmu belum benar-benar meninggalkannya, ia sudah menghujatmu. Menjadikanmu sarapan tanpa pemanis di pagi hari hingga perutnya melilit letih di pekatnya malam. Berhati-hatilah! Sebab seperti deretan rumah-rumah yang sempit dan sesak ini—juga—dan sepertinya mendangkalkan nalar dan etika mereka.

Aku memasuki gang sempit itu. Mendekati kerumunan yang membentuk lingkaran berjari-jari sedepa tepat mengerumuni sesosok ibuku yang diam dalam ketakutan. Ibuku memeluk lekukan betisnya. Meringkuk mencari dadaku yang selalu ia damba di situasi-situasi yang membuatnya tertekan, makin meringkuk, menggeleng-gelengkan kepala tanpa berani menengadah ke arah tudingan-tudingan membabi-buta itu. 

"Apa yang kamu curi di rumahku, hah?" Markonah membidik jantung ibuku. Mereka semua tau ibuku, bagaimana dan mengapa ibuku hanya meringkuk memeluk tubuhnya sendiri. Mereka fasih akan hal itu, di hadapanku—tepat kala kami bersua di halaman rumahku tempo hari, Markonah menyatakan turut prihatin atas ibuku walau aku tak pernah menyetujui pendapat itu. Ibuku hanya akan ketakutan berlebihan saat dihadapkan dengan perkara-perkara yang emosional dan dramatis. Kehilangan ayah saat ombak menggulung menggelar badai menelan para nelayan termasuk ayahku sungguh bagaikan kepingan kelam dalam imajinya. Bangkit dan menghantuinya. Markonah membisu. Ia kini menyeringai dalam kelu memuntahkan jilatan ludah yang tak kuasa ia telan. 

Aku mendekat. Mendorong tubuhnya hingga terhuyung beberapa langkah ke barat, ke arah kematian sang mentari. 

Dadaku naik turun, wajahku mendidih siap meledak, hatiku menyeringai pedih. Sungguh biadab!

"Markonah! Hentikan!" Aku menerobos kerumunan makhluk-makhluk mirip jombi yang siap menerkam mangsanya—ibuku. 
"Siapa yang bilang ibuku mencuri, hah? Ada yang punya bukti?" Aku menantang membentak tak gentar. 

Hening. 

Ibuku beringsut di balik kemejaku. Berusaha menemukan celah untuk menyembunyikan ketakutannya. 

"Jangan takut, Bu! Mereka ini manusia penakut. Sukanya main belakang saja! Makanya kian terbelakang!" aku menumpahkan kemarahanku.
Kutatap wajah ibuku dengan senyumanku. Ia tertawa menyeringai tipis. Lalu tersenyum-senyum simpul menawan kepadaku. Ia lalu tertawa. 

Markonah menunduk, Nurbaya sudah beringsut pelan-pelan tengah mengintip dari balik jendela tua rumahnya. Tampaknya ia lari tercirit-birit barusan. Siti mematung tak sanggup menatapku.  
"Maafkan aku, Jang! Habis ibu ... ibu muncul di dapur—" Ia terbata.
"Cukup! Aku gak butuh penjelasanmu." selaku memotong penuturannya. Ia bagaikan anak ayam kehilangan induk. Ia kehilangan provokatornya yang kini bersembunyi di balik jendela tua. 

"Ini sudah berulang. Besok saya akan lapor polisi! aku berkata sambil merangkul ibuku berlalu.
Mereka terbujur kaku. Penuh ketakutan. Lagaknya mereka selama ini belum pernah bersua dengan rasa itu. Aku akan sungguhan. Ini sudah keterlaluan. Ibuku bukan lelucon! Ia segalaku. Harus terhormat!

"Ngapain ibu di sana?"
"Eh, hehe ... hanya ingin melihat Sule, Nak! Ia makin comel. Persis seperti kamu kala balita." Ia bercerita dan sudah melupakan kejadian tadi. Ia bahkan melupakan Markonah, Nurbaya, Siti dan seluruh penduduk kompleks kecuali Sule. Sesosok anak kecil yang mengingatkannya pada balitanya yang dulu nyaris di bawa ombak bersama suaminya. Kini, balita itu akan selalu melindunginya baik badai petir sekalipun. Nun jauh di tubir hatiku, aku menghujat ayahku yang hanya menyisakan pilu di hati ibuku dengan kematian tragisnya. Sebuah nama panggilan yang sungguh merobek jiwa ragaku "gila". Segera, aku kan menyelesaikan program spesialis sarafku. Membawa paradigma bernalar baru bagi self-healing bolus-bolus saraf pusat ibuku. Hanya, semoga semesta menyertai ibu kala aku meninggalkannya untuk bergabung dengan rekanku di meja kuliah. Walau aku harus menjadi kuli teman-temanku demi uang kuliahku. Tidak mengapa, karena itu membuatku lebih memahami ilmu kedokteran. Bukankah resitasi menguatkan ingatan dan kecerdasan?

Pematangsiantar, 21 Oktober 2019

Komentar

  1. Kak Lina selalu punya tema yg bagus di ceritanya. Ajari lah kak 😁

    BalasHapus
  2. Huaaa masih minim soal ide dan karakter kuat di tiap untaian kata sayang. Btw kamu juga bagus. Follow aq ya. Tar aq follow kamu deh cinnn wkwkkw Mksh yee

    BalasHapus
  3. Sangat menyentuh kak. Suka cara menyampaikan alurnya. masyaallah Terdaebak pokoknya hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS