Setitik dua

Aku ingin terbang, ke langit ke tujuh. Ingin ku meraih bintang-bintang menjadi kerlipku. Jika tanganku terluka, akan kubelah lima dan aku akan pulang dengan sepasang tangan berjari lima puluh. 

Aku Sirius. Menyala, menikam ketakutan  dengan bintang-bintang yang akan menjemput pagi. Kala semesta lelap, namun tak sungguh-sungguh hening. Ada sebentuk gelora di sudut barat. Menggeliat-geliat tak tenang, mencoba berdiri tapi sepertinya ia tak kuasa. Sepasang bola mata mawasnya tak sungguhan mawas. Ia tak mampu mendeteksi sepasang mata elangku. Mata bulat berlayer minus tiga. Semua jernih, cerah dan membias. Kekuatan lensaku di fokus terkokoh. Aku siaga, melawan dingin dan tusukan-tusukan nyamuk hutan. Ia menusuk-nusukku mencari arteri, lagaknya mereka menemukan venaku saja. Dalam sekelak, ia jatuh dan membumi. Nyamuk nakal tak kenal mangsa! Ia teracuni. Mengakhiri kisahnya yang hanya sehari di semesta.

Tak ada yang tertutupi di balik pekatnya malam. Purnama kedua belas setia mengawalku. Bagai mercusuar mengeker gelora yang kian menggelegar. Tirai-tirai penyingkapnya perlahan mulai tegak. Berarak ke barat, ke arah tenggelamnya mentari, ke arah kesialan. Oh, iya! Bicara kesialan, aku teringat ucapan buyutku. Katanya, buyutku sekali mendengar cerita buyutnya—buyutnya buyutku, berkisah. Kala itu aku masih kecil, buyutnya buyutku berkisah di kisah buyutku padaku. Kala ibunya, berarti omanya buyutku menyajikan semangkuk sop untuk tamu yang datang untuk meminang buyutku. Sop ayam andalan omaku, tutur buyutku. Mangkok yang terbuat dari porselen. Seperti mutiara dan baja berpadu dalam tuangan, dipatri—dileburkan sampai pada titik leleh dan mulai mendidih. Lalu dituang dalam cetakan. Dibekukan dan jadilah baja terkuat untuk dinding-dinding kapal perang dan pembuat tank-tank rudal perang. Begitulah kekuatan porselen omaku, tutur buyutku. Tetapi begitu tamu yang sungguh sebagai petaka untukku hendak menyentuhnya ... mangkok itu pecah berkeping-keping. Tumpah-ruah, mengalir menganak sungai membasahi pakaian bagian bawahnya. Ia pamit tanpa basa basi. Buyutku berhenti kala itu. Sejenak menarik nafas lalu melanjutkan cerinyala di helaan ke dua dan seteruanya. Itulah kesialan, katanya. Kesialan selalu diawali oleh tanda-tanda. Jelilah mengamati tanda yang diberikan semesta untuk semua peristiwa bahagia sekalipun, ada tanda yang tersematkan mendahului segala sesuatunya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS