Terjadinya Danau Toba

Ringkasan cerita aslinya :

Alkisah—dahulu di Sumatera Utara, Indonesia, ada seorang pemuda yang suka memancing. Suatu hari ia mendapatkan ikan dan ikan itu ternyata merupakan jelmaan dari seorang gadis yang cantik. Setelah lama bersama-sama, pemuda dan gadis tersebut menikah dan mempunyai anak yang bernama Samosir. Pemuda dan gadis itu hidup sejahtera dan mempunya janji yaitu pemuda tersebut tidak boleh mengatakan kepada Samosir bahwa ia adalah anak ikan. Pada suatu hari pemuda tersebut keceplosan karena terbawa emosi dan mengatakan Samosir anak ikan, lalu terjadilah badai yang kuat. Ibu Samosir menyuruh samosir untuk pergi ke bukit yang sangat tinggi dan memanjat pohon di sana. Lalu Ibu Samosir sendiri pergi ke danau berubah menjadi ikan yang sangat besar sehingga menimbulkan air sungai meluap dan menjadi genangan air yang besar. Lama kelamaan genangan itu menjadi danau yang sangat besar. Oleh masyarakat setempat, danau tersebut diberi nama Danau Toba.

Gubahan tanpa mengurangi esensi dan isi cerita yang sebenarnya oleh: Erlina Siahaan

Elegi dari sebuah murka—Danau Toba

Mural-mural elegi dari sakit dan kemelut
Jika miskin dan papa adalah nasib
Biarkan hasratku berjuang sepenuhku berjuang menentangnya mengubah menjadi tawa
Aku percaya ada entitas yang akan membawa kebahagiaan
Lebih dari mimpi indah yang pernah bisa terjamah nalarku

-Erlina Siahaan-

Namaku Toba. Pemuda miskin, begitulah mungkin nasib yang terukir di kedua belah telapak tanganku. Sebatang kara sejak remaja dan aku harus bersyukur untuk sepetak ladang peninggalan orang tuak. Aku diberkati. Yah! Harus terberkati.

Mataku menatap alur yang menjulur di sepanjang telapak tanganku. Bermula dari timur, lalu berserak tak karuan. Meliuk memetakan berbagai alur tak beraturan di sana. Berarak ke barat lalu tenggelam walau tak sungguhan hanyut. Lagaknya, itulah gambaran hidupku kini. Amburadul. Di usiaku yang semakin matang, kemiskinan melekat padaku dan sebatang kara mengibar di tubuhku. Adakah gadis yang mau kupersunting? Hampir seluruh sahabat seumuranku di kampung ini sudah menikah.
Parlente, Parjalang dan Parmitu. Mereka meraih medali estafet pesta rakyat meninggalkanku pada garis penonton tak berpendamping.
Aku masih mengingat dengan jelas senyum Parmitu tadi sore di pelaminan miliknya. Ia duduk bak Raja Batak. Permaisurinya bagai dewi yang menjelma dari khayangan. Rakyat berputar saling menggulung mengikuti gondang yang bertalu-talu. Aku memang tak sendiri—tak sungguhan sendiri. Ada Parlente dan Parjalang mengapitku di sisi kanan dan kiriku. Mereka mengawalku bagai sayap kanan dan kiri yang siap mengiringku ke pelaminan. Di sisi terluar, kedua istri mereka mengawal mereka masing-masing. Inilah sumber deritaku.

Aku sendirian. Yah, sendiri. Tak sungguhan bersama mereka. Kami sama-sama melangkah ke arah pelaminan, namun, masing-masing dari mereka sibuk dengan dada membusung bangga pada istri yang mengapitnya dengan mesra. Sungguh pemandangan erotis yang memilukan untukku. Aku seolah disekat dalam sepi yang tak pernah menemukan tepi. Terbiar dan beku. Aku menyalami Parmitu.

"Selamat, Lae ... aku bangga padamu!"
Sungguh aku ingin mengucapkan : Selamat, semoga aku menyusulmu secepatnya. Namun, aku malu. Aibku tak harus kuumbar.

"Wah, makasih Toba ... kau pasti segera menyusul. Percayalah lae padaku, aku sudah bermimpi tentang pesta rakyatmu ...." Ia menggebu menerangkan mimpinya.

Mimpi yang akhirnya menyita seluruh bolus-bolus dalam saraf kepalaku kini.

Benarkah aku akan menikah?
Dengan siapa?
Butet?
Ah, mana mau dia. Turep lebih kaya, Ia akan memilihnya.

Tince? Ia sudah janda! Aku lebih baik melajang!

Doinim? Ah, tentu aku akan ditolak ....

Akhirnya, aku kembali ke guratan di telapak tanganku.

Aku harus semangat. Setidaknya, mentari akan selalu terbit di ufuk timur, pertanda harapanku harus ada. Mimpi Parmitu bisa saja menjadi kenyataan, walaupun ia bermimpi dalam kondisi mabuk berat sekalipun, setidaknya ia bermimpi. Bisa saja terjadi!

Akhirnya, tidurku mengakhiri gundah yang menyerang tanpa jawab yang menenangkan itu.

Seorang gadis tampak mendekatiku, mengecupku dengan mesra dan mendendangkan lantunan simponi pengantar tidur.
Gadis yang cantik itu, lalu terbaring di tepian ranjangku tanpa mengalihkan fokusnya dari tubuh letihku.

Ah,gadisku ... jangan meringkuk di sana. Kemarilah kupeluk dalam dekapku. Agar lelap dan indah bintang menari dalam langit-langit mimpimu.

Prak ....
Aku meringis kesakitan. Ya, Tuhan ... aku terjatuh dari tempat tidurku. Mimpi sialan!

Kesadaranku akhirnya kuhimpun. Aku bangun kesiangan! Mimpi yang dramatis sampai aku terjatuh, pikirku. Aku segera mendayung sepedaku ke arah sungai, hari ini aku akan memancing. Hari minggu adalah sebuah kegiatan semedi khususku. Tubuhku perlu istirahat selain mengayunkan cangkul.

Lalu, kail pancingku bergetar. Ini pasti ikan besar!
Lalu, seekor ikan emas bersisik emas menggelepar kian gesit di ujung pancingku.
Santapan malam!
Sampai di rumah, ketika aku menyiapkan bumbu-bumbu mengolah ikan tersebut, ia lalu berbicara.

"Tuan, jangan potong dan makan aku. Tolonglah ...."

Aku panik,namun ia kembali bersuara, "jangan terkejut tuan, aku adalah ikan mas yang tuan pancing tadi." Akhirnya aku mengetahui sebuah fenomena keajaiban ada pada ikan yang sempat kubayangkan jadi santapanku.

"Bah! Ikan apa kamu kenapa bisa bicara?"

"Aku adalah jelmaan bidadari khayangan, Tuanku! Ijinkan aku tetap dalam kolam kecilmu ini. Kumohon ...." Sang ikan memelas dengan lancar.

Aku terkesima, tanpa lafal namun seperti mengikuti perintahnya tanpa komentar.
Namun, aku akan memeliharanya. Setidaknya sepiku tidak benar-benar sendiri kala aku memelihara seekor ikan ajaib yang bisa bicara padaku.

Keesokan harinya, aku berangkat ke sawah. Dan ketika aku kembali ke rumah, berbagai hidangan lezat tersedia di atas meja dapurku. Kain kumal penutupnya juga sudah diganti. Hari bergulir, dan itu terus saja terjadi. Makanan tersaji, rumah beres dan semua terasa wangi bunga mawar.

Ikan ajaib!
Sejak ada dia di dalam rumahku,aku selalu mendapat berkat tiada berkesudahan.
Hingga pagi itu, aku mengintip dengan tenang di balik dinding rumbia rumahku. Lalu,sekitar 15 menit kolam ikan kecil itu bercahaya, lalu, muncullah wajah seorang wanita yang sangat cantik.

Wait! Itu wanita dalam mimpuku ... aku segera berlari ke dapur. Menemukannya tengah menggoreng daging. Segera ku sergap dia. Ia kelabakan. Lalu, ia mulai menceritakan keberadaannya.  Ia menangis sesenggukan agar tetap kupelihara dan kubiarkan bersamaku.

"Baiklah, aku setuju asal tetaplah memastikan bahwa dapurku kau rawat dengan baik."  Aku mencoba memberi sebuah penawaran.
"Baiklah! Trimakasih tuan!"
Ia menyalamiku. Tangan yang amat lembut itu lalu menggeliatkan seluruh dadaku. Tapi jujur aku takut kalau-kalau dia berubah menjadi sesuatu yang menakutkan. Membuatku menjerit-jerit tak karuan. Ia asing. Masih misteri untukku.

Seiring waktu, ia semakin manis. Menghormatiku bagai raja dan sangat mengabdi. Hingga akhirnya aku menganggapnya sebagian dari diriku. Ia tak pernah menakutiku, apalagi membuatku menjerit. Ia bahkan membuatku melupakan kartu leng dan nikmatnya mabuk bersama Parmitu, Parjalang dan Parlente. Aku menamainya Cinta. Karena ia membuatku jatuh cinta tanpa pelafalan formal.  Hingga akhirnya aku mulai membawanya keluar rumah.

Kampungku geger. Gosip segera mengudara dan aku menjadi topik utama.

Malam itu, ketiga sahabatku datang ke rumah.
"Tob, siapa gerangan gadis cantik yang bersamamu tadi siang?" Parlente bertanya.
Aku mengehela nafas. Sulit kuterjemahkan pada mereka. Sanggupkah nalar mereka menerima fakta itu?

Lalu, tiba-tiba Cinta muncul. Cahaya gemerlapan memenuhinya. Kami berempat kaget.
"Ketahuilah, akulah Dewi Bumi. Aku dikutuk oleh karena kecantikanku yang membuat saudariku iri. Aku hanya akan bisa menjadi manusia jika aku mengabdi pada penolongku—Toba." Ia terdiam. Pelan tetapi pasti cahaya di sekujur tubuhnya mulai menghilang dan sirna. "Kami akan menikah!" Ia kembali berujar dan membuatku kaget. Hal yang sama juga terjadi pada ketiga sahabatku.

"Ya! Baiklah ... eh, begitulah ...." aku berkomentar sekenaku. Mataku tertuju padanya. Pada ayu dan moleknya Cinta.
Ah, sungguh terberkatinya aku.

Malamnya, aku mempertanyakan hal sama padanya,
"Cin, benarkah kau sudi menikah dengan abang?" Aku bertanya penuh harap. Ada rona memerah pada kedua pipinya, "Ya, Bang. Tapi, jangan pernah ungkapkan bahwa aku adalah ikan. Kepada siapa pun. Apalagi kepada anak-anak kita kelak."
Sebuah janji yang kuikrarkan akan kujaga. Aku benar-benar menikahinya dan kami begitu saling mencintai.

Lalu, masyarakat kampung mulai memperhitungkanku dalam perkara kegiatan dan adat kampung. Cinta sangat dihormati dan ia mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Hingga suatu ketika ketika buah hati kami sudah berumur tujuh tahun. Ia menghabiskan jatah makan siangku. Kala itu aku begitu lelah bekerja memantau pertanian kami. Ia datang dengan rantang kosong. Jatahku disantapnya di jalan saat bermain dengan teman-temannya.

Memang, kala lapar,manusia tidak ubahnya bagai seekor singa yang menraung geram. Kuayun kayu kering ke betis tambun anakku. Lalu, ia menangis namun tetap tak meminta maaf. Aku begitu menanti sebuah kata maaf, namun hanya isak yang ia beri.

"Dasar anak ikan! Minta maaf aja susah!" Aku mengumpatnya dengan geram. Tiba-tiba dunia gelap. Petir menyambar-nyambar dan hujan turun dengan derasnya. Putraku menangis dan pulang ke rumah. Katena khawatir, kususul dia dari belakang.

Kami lalu sampai di rumah.
Kulihat istri dan anakku saling berpelukan.

"Bang, kamu melanggar janjimu pada putra kita, Bang!" Istriku meraung. Hujan dan petir tumbah memenuhi semesta.

"Maafkan abang, Cin! Abang khilaf!" Aku mendekatinya khawatir.

"Tidak, Bang! Semua sudah terlambat!" Ia makin menangis. Dipeluknya putra kami lalu diciuminya bertubi-tubi.

"Nak! Pergilah ke gunung tertinggi itu," Ia menunjuk sebuah bukit sambil berurai air mata. "Jangan turun sampai air surut. Pergi, Nak! Pergilah ... pergi sekarang, Anakku!" Ia mendorong tubuh putra kami menjauh. Sementara air semakin menggenangi kami berdua. Aku memeluknya memohon sebuah maaf.

"Terlambat, Bang! Mimpi kita sudah kamu hancurkan!" Ia menangis. "Aku akan menjadi ikan. Abang pergilah jaga anak kita, Bang!" Ia tiba-tiba berubah menjadi ikan. Ia lalu mengepakkan ekornya dan aku terpelanting jauh. Jauh sekali. Lalu, aku menyadari bahwa aku tepat berada di sisi putraku. Melihatnya terisak dan kami pun berpelukan.

"Maafkan bapak, Nak!"

"Samosir minta maaf, Pak!"

Kami berdua saling berpelukan dan akhirnya kami hanya bisa mengamati lautan yang mengelilingi kami. Seekor ikan tampak mendekat.

Ikan yang akan tetap memenuhi Danau itu. Kusebut ia Danau Toba dan pulau ini adalah pulau putraku, Pulau Samosir.

Penyesalanku, akan tetap kutebus dengan merawat ikan-ikan di danau ini. Dan aku. Tau ikan ini akan menjadi ikon pulau ini.

sekian.


Nilai moral:
1. Semesta memiliki rahasia tersendiri soal alur, kisah dan waktu. Tak ada imaji yang sanggup melafalkannya pun mengimajikannya.

2. Kebaikan akan selalu mendatangkan sebuah kebaikan,bahkan kadang diikuti oleh keajaiban-keajaiban yang mencengangkan. Jadi, tetaplah menjadi orang baik. Tetaplah berbuat baik.

3. Kasih ibu akan selalu menyertai sekalipun sang ibu sudah tiada

4. Sebuah janji adalah sebuah ikrar. Ia lebih sakral dari sebuah hukum alam.

5. Menghormati orang tua itu keharusan. Sebab, mengabaikannya adalah awal dari murkanya bahkan murka semesta.

 

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Penceritaan kembali yang amat memukau mbak. Suka banget😍👍

    BalasHapus
  3. Makasih kk. Kok ada komentar dihapus kak? Saya gak ada menghapus kak heheh

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS