Aku nyonya di rumahku

Aku Nyonya di Rumahku

(Erlina Siahaan)

Aku menatap wajahku pada pantulan cermin datar di kamarku. Tepian cermin yang dihias jati terbaik Jepara itu menambah kemewahan kamar yang kini penuh drama. Kupandangi foto pernikahanku, tepat pada sesosok pria tampan dan gagah yang memelukku erat. Pelukan yang sekarang menyisakan perih di ulu hatiku. “Terlalu banyak luka yang kamu torehkan untukku, Mas. Kali ini sanggupkah aku?” aku membatin. Lalu, kudengar suara mobil yang biasanya akan membuatku berlonjak  menyambutnya. Tetapi, kali ini membuatku kehilangan separuh  jiwaku. Aku bergegas ke arah tirai—mengintip di antara jerejak baja. Aku melihatnya dengan kemeja dan dasi pilihanku. Tetap dengan senyum yang mampu memikatku menjadi ibu di rumah ini. Lalu, akankah kemewahan ini menjadi penjara untukku?

Ia bergegas membukakan pintu ke sisi lain. Tanganku meremas tirai dengan getir. Seorang wanita cantik dan memikat keluar dari dalam mobil itu. Gaun mewah dan riasan sempurna, segera tertangkap mataku. Kegetiran menghujaniku menusuk-nusuk dadaku. Meremukkan jantungku. Kalahkah aku? entahlah, aku lalu hanya bisa menghapus bulir bening pada pipiku dan berulang kali menarik nafas menenangkan diriku. Aku memperbaiki riasanku dan menatap tajam pada cermin yang saat ini seolah menyemangati diriku. Yah, untuk putriku, aku harus tegar. Sesungguhnya hidupku bukanlah otoritasku saja. Aku adalah seorang ibu yang harus mengantarkan putriku ke masa depan yang tentunya dan harus bahagia.

Segera kuayun langkahku menuruni tangga menuju ruang tamu. “Rika sudah sampai Nin!” suamiku berjalan ke arahku, lalu mengelus punggungku dan tak lupa mengecupku. Bagaimana dia menganggap semua ini normal? Sekilas aku melayangkan pandanganku pada Rika, ia menunduk. Seolah berusaha bersembunyi dari tatapanku. “Aku harus ke restoran dulu ya!” suamiku pamit padaku. Aku mengantarnya ke pintu dan mencium punggung tangannya. Ia mengelus kepalaku dengan senyum kecilnya, “tolong ramah padanya ya!” Ia berbisik lembut di telingaku. Satu yang membuatku lega, tak peduli ia bersandiwara atau bukan, ia pergi tanpa pamit pada wanita itu.

    Tinggallah aku dengan Rika—rivalku. Berdua dan canggung. Tetapi, bukankah aku harus jadi nyonya di rumahku bukan? Aku melangkah dengan langkah yang nyaris tumbang. Duduk tepat di hadapannya. “Jangan tunduk. Aku gak akan menginterfensi kamu!” Rika menatapku dengan skeptis. Aku menjabat tangannya dengan senyum hangatku. “ Mau minum teh atau mungkin jus jeruk? atau mungkin kopi?” aku menawarkannya dengan senyum kecilku. Berkati aku Tuhan! aku membatin. Jangan sampai aku rapuh di hadapannya. “Terserah mbak Nina.” Ia tampak canggung dan malu. “Baiklah. Jus jeruk dingin mungkin akan membuat kita bisa sedikit lebih fokus dan rasional, ya!” aku bergegas ke ruang tengah meninggalkannya dengan wajah kikuk dan canggung. Sedikit menikmatinya mungkin akan membuatnya memahami esensi dari sebuah kata pelakor (*perebut lelaki orang). Aku meminta pramusajiku menyiapkan minuman dan sedikit cemilan.

    Aku kembali bertatapan dengan Rika. Minuman segera tersaji di meja. Aku menyeruput gelasku dengan tetap tenang. ia lalu mengikutiku meminum jusnya. Berusaha menutupi kecanggungannya. “Betulkah kau bersedia menjadi madu Mas John?” Ia kaget mendengar pertanyaanku. Ia meletakkan gelasnya. Aku tau dia gemetaran. “Tergantung Mbak Nina.” Ia tampak menghimpun keberaniannya. “Tetapi, semua di rumah ini tergantung Mas John. Aku dan putri kami—Dea akan selalu mendukungnya jika tujuannya adalah demi kebahagiaan keluarga kecil ini.” Ia tampak kehilangan kata. “Trus, kamu mau hidup dengan kami?” Ia terbata tapi tak mampu mengucapkan sepatah kata. “Rika, tidak ada perempuan yang mau dimadu. Tetapi, jika hanya itu pilihan untuk mempertahankan rumah tangga dan senyum  putriku, sanggupkah aku ibunya berlari begitu saja? Jika memang aku harus melihat semua ini terjadi, haruskah aku berbohong dengan selalu tersenyum padamu seperti sekarang? Andai ada pilihan lain yang ia sisakan untukku, mungkin lukaku tidak terlalu perih.” Ia menatapku, matanya sendu lalu ia tertunduk. “Maaf mbak, tetapi aku berhutang budi pada Mas John.” “Itu bukan alasan yang kuat untuk mengobralkan diri Nin. Aku yakin, kecerdasanmu mampu membuatmu tegak bermartabat.” Ia terisak. “Maaf mbak, aku sesungguhnya tak memahami perasaaanku pada Mas John, aku hanya ingin keluar dari sesaknya deraan hidupku, Mbak!” “Tapi bukan dengan menderita perasaan Nin! Sanggupkah kamu jadi perusak rumah tangga wanita lain?” “Maaf mbak, ijinkan saya pamit.” Ia terisak, memilih berlalu dalam malu. sejak saat itu, suamiku tak pernah membahas Rika dan poligami dan aku berusaha menikmati hari-hariku dalam doa dan pengharapanku. Putriku harus selalu bahagia, itulah hidupku.

Biodata Penulis

    Erlina Siahaan, berasal dari Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara. Pada tahun 2009 lulus dari Jurusan Pendidikan Kimia dari Universitas Negeri Medan dan sejak tahun yang sama aktif mengajar sebagai staff pengajar di SMP Negeri 4 Pematangsiantar. Aktif mengikuti literasi dan sudah memiliki beberapa buku antologi. Dapat dijumpai pada; fb: Erlina Siahaan, Instagram : Erlina Siahaan16, email: erlinasiahaan@gmail.com.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS