Drama Siang-Malam (Bagian I)

Kala itu masih subuh. Siluet-siluet remang masih sulit tertangkap fokus netra. Kupastikan jika kamu berdiri di perempatan jalan, bulu-bulu tubuhmu akan berlari tercirit-birit.

Lalu pagi terbangun dari tidur panjangnya. Perguliran sumbu bumi meminta restu dari Sang Pencipta. Alam tunduk. Tafakur.

Ayam—Sang pengawal jagat memberi sebuah upacara pembuka. Lolongan yang kalian haluskan dengan sebutan kokok.

Ia mungkin diam. Tanpa protes. Bungkam dan pasrah.

Hidup sepertinya satu pintalan dengan dusta dan sandiwara. 
Bagai seorang musuh berbumbu karib.
Di depan ia tersenyum lebih cerah dari tawamu. Di belakang  ia terbahak melihat raunganmu.

Nun jauh di kegelapan ada entitas yang mengerang murka.
Semesta tercipta bukanlah untuk menjadi pertunjukan opera pun pertunjukan seni apalagi panggung sandiwara.

Jangan terkecoh!
Dogma jerat pembodohan akan dunia panggung sandiwara adalah ilusi yang menjadi candu. Amunisi yang mendoktrin penghuni jagat untuk sembunyi di balik sebuah dosa—dusta—pembodohan!

Aroma embun masih segar. Oksigen masih mengikat hidrogen terperangkap dalam bulir-bulir bening di dasar putik dan ujung helai daun bunga mawar. Embrionya melonjak-lonjak ingin menyaksikan upacara perguliran menuju pagi. Ia bukan menunggu terusirnya pekat. Ia hanya rindu pada terang yang menyinari. Bukan pada terang yang membakar. Memberi noda-noda yang dibenci gadis-gadis penyuka stiletto.
Mereka phobia pada noda yang mereka salibkan sebagai flek. Penuaan. Tua! Radikalisme.
Menyematkan eksotisme di jati diri ketimuranku. Sungguh, lebih tepatnya disebut legam—pekat, hitam.

Lalu, saat pagi sungguhan mengusir pekat dengan upacara sakral dan hening. Semesta tunduk. Suhu menurun dan udara berhembus ke barat daya. Menghentak-hentakkan rumbia di tepian pemukiman penduduk dan mengusir dedaunan kering. Mereka membujuk angin untuk mengurangi gaya dorong yang meliukkan energi kinetik berpotensial menerbangkan tanpa ampun. Mereka merayu. Meliuk mengikuti irama angin. Lagi dan lagi. Namun, angin itu ibarat pemuda playboy bermuka polos. Ia menerbangkan dedaunan tanpa empati. Sadis dan brutal.

Dedaunan yang malang di penghujung malam menuju subuh. Lari terbirit-birit lalu langkahnya mirip irama penuh ketakutan yang menjerit-jerit tanpa safety tank.

Komentar

  1. kata-kata yang selvi suka :
    1. Siluet-siluet remang
    2. Pintalan dengan dusta
    3. Entitas yang mengerang muka

    Selvi gak ngerti kak ini termasuk tulisan apa hehe yang jelas Selvi suka tulisannya, kata-kata yang menawan. Selvi tunggu kelanjutannya ya kak hihi

    BalasHapus
  2. Hahaha. Masih nanggung mmg kk sel. Jadi blm jelas ya hehehe. Thankyou kk supportnya menginspirasi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS