Menikah Kilat Part 1

Kencan Buta

Usiaku mencapai 32. Aku gadis peranakan. Ibuku batak dan ayahku bule. Iya! Bule. Asli keturunan Amerika. Ulalala ....

Sejak menikah, ibu berjuang keras untuk bisa bersama ayah.  Mengurus surat ijin kependudukan yang beribet, katanya. Saat aku lahir barulah ibu mendapatkannya. Syukurlah ....

Aku tinggal di Amerika dan benar-benar bisa beradaptasi dan berevolusi dengan baik. Kecuali namaku yang tetap menjunjung tinggi ke-Batak-anku dengan teguh. Butet. Panggilan Batak untuk putri kecil yang belum punya nama. Dan aku seolah tak bernama bukan? Yah, itu namaku, Butet. Aku tidak masalah dengan itu. Nenek mungkin ingin aku tetap ingat leluhur dan kulturalku di sini. Tidak masalah. Tidak ada yang salah sampai suatu ketika nenek—ibu dari mama berkunjung ke rumah dan membahas jodohku.

"Butet sudah berusia matang. Ia harus menikah!" Nenek berucap tegas.
Ibuku melirikku. Entahlah, kami belum pernah membahas ini sebelumnya. Ibu dan aku kikuk dalam kelu.
"Betul. Kamu harus menikah secepatnya." Daddy menimpli. Nenek tinggal bersama kami selama kurang lebih tiga pekan.

Sebuah boomerang untukku. Bukan aku tidak sayang nenek. Tetapi, pertanyaannya itu nacep sampai ke hati. Lama-lama membuatku seperti berpikir pintas untuk segera mendapatkan pacar. Hanya itu yang akan menghentikan nenek.

Aku tau, suatu hal yang belum pernah terpikirkanku. Jodoh via online. Tren memang. Baiklah, malam itu aku memutuskan membuka situsnya dan mendaftar dengan pasti. Berbagai langkah kuikuti untuk bisa masuk. Begitu aku masuk beribu pesan masuk melalui emailku. Dari para lelaki di grup itu. Asli aku muak. Skeptis dan hilang selera membalasnya. Hidup tidak sebercanda itu. Klise ku dalam hati.

Hingga wekend tiba dan nenek memaksaku pergi keluar rumah. Entah kemana, "Menemukan jodoh mustahil jika hanya menemaniku membuat sus strobery." Celotehnya saat aku keluar sambil menggerutu.

Aku hanya duduk di cafe sudut perumahanku. Pandanganku menatap ponselku—grup jodoh online ku. Notifikasi pesan masuknya terus meningkat. Iseng aku membukanya. Mengamati foto-foto tampilan pria di sana. Pada keren dan fantastis. Sungguh aku tidak tertarik. Hingga pada suatu scroll aku berhenti. Seorang pria menyapaku "goodday madame!" Aneh, bukannya
Hai sweetie
Hai darl
Hello my dear
Hello my princes
Atau bahkan
Hai manies

Tampilan profilnya cakep. Ganteng. Hampir rata-rata profil di grup seperti itu. Entahlah, aku membalas chatnya, "ur old?"
"Thankyou for asking my age. Im 34. Im on my job. Ill meet u at evening. Give me ur address. Anyway, thankyou for apreciate me."

Begitukah di grup jodoh ini? Jika kita bertanya sepatah kata, kita mengapresiasi mereka? Aku menutup chat. Mengalihkan fokusku ke pancake di hadapanku. Pancake itu lebih mirip wajah nenek. Tersenyum dan membuatku mual. Aku menjauhkannya dari hadapanku. Lalu kembali pada ponselku, lagi-lagi pada chat pria itu. Aku memberi alamat rumah. Sesederhana itu.

Aku tidak menyangka sore itu kedatangan tamu. Sebuah mobil silver sporty memasuki gerbang. Aku menyaksikan lewat cctv di ruang makan.
Paling tamu ayah atau ibu, atau siapa saja yang tidak pernah kubayangkan. Siapa peduli?
Aku mengabaikan pandangan dari cctv dan menikmati salad sayur buatan ibu. Ini menu kesukaanku.
Lalu, " Tet, ada pacarmu." Nenek berlari ke dapur dengan ekspresi seperti menang lotre di hari perdana beli lotre dan hadiahnya liburan ke Betlehem. Amaizing!

"What? Jangan bercanda nek!" Aku merasa imaji nenek berlebihan mengarah kepada pandangan bahwa ia mulai mengalami penglihatan ilusi tentang jodohku.

"Dekster di ruang tamu. Temuilah! Ia menunggu ...." nenek merasa aku berlagak bego. Ia kembali menuju ruang tamu.
Tiba-tiba, oh my God. Aku seperti pernah mendengar nama itu. Tapi di mana? Segera aku berdiri dengan mulut ternganga begitu mengingat grup jodoh online ku. Aku kalut. Ini sungguh di luar prediksi. Ia nyata. Konkret dan ia betul-betul menepati janjinya. Aku berlari ke ruang tamu. Ini pasti sebuah kesalahan.

Sayup-sayup aku mendengar pembicaraan antara daddy dan nenek dengan seorang pria. Suara asing itu sepertinya renyah dan ringan. Mereka tertawa dan cekikikan. Sementara lelaki itu banyakan menjawab ia dan tidak.
"Jadi benar kamu pacarnya Butet, putri saya?"
"Ia. Kira-kira begitu!"
Sialan! Ia menambah-nambahi pikirku. Aku melangkah memasuki ruang tamu dengan kesal. Ini perlu diluruskan.
Lalu, saat aku muncul ... lelaki itu segera menangkap kedatanganku. Ya Tuhan. Dia cakep banget! Ia berdiri melangkah ke arahku. Membungkukkan badan dengan hormat lalu mengulurkan tangan terbukanya untukku. Aku lupa emosiku. Lupa hal yang harus kuluruskan dan aku begitu terpesona padanya. Kujulurkan tanganku. Ia mencium punggung tanganku lalu mencium keningku. Ini pasti mimpi! Dan aku terbuai tanpa ampun.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS