Perkara Kentut

Kelas yang riuh dan ritme suara melengking menghardik semesta tiba-tiba hening. Diam.

"Siapa itu? Kamu kan?" Seorang anak perempuan berkepang dua menuding seorang anak lelaki yang duduk di meja sebelahnya.

Ia tampak bengong. Ekspresi kosong tanpa merasa bersalah.
"Bukan aku!" Hanya itu dan dia tetap melanjutkan guratan rangkaian garis-garis tanpa pola yang teratur pada kertas di hadapannya. Saat pangkal menerjang menempa ujung. Lalu guratan lain timbul menarik fokus. Mengukir ruang bercorak tanpa sebuah salam. Ibarat kentut yang menyatu dengan semesta tanpa salam pembuka apalagi penutup.

Tanpa rambu. Tanpa klakson pemberitahuan atau tanpa lampu sorot sebagai penanda. Mungkin, ditandai dengan mimik tuannya yang tegang seketika, memucat dan menegang berusaha menambah tegangan permukaan pada katup penahan kentut. Namun, saat klepnya hilang kendali dan tekanan di dalamnya menerobos begitu saja diikuti irama pucat memias di wajah sang tuan. Tetapi, adakah sensor pendeteksi yang benar-benar efisien untuk perkara yang satu ini?

Kita terlahir untuk perkara yang lebih besar. Tetapi, bagi Butet ini perkara besar—riskan.    Kasus yang harus dituntaskan. Seminggu terakhir, aroma menjijikkan itu membuatnya hampir lebih memilih libur sekolah—walaupun harus remedial ulangan.
Ia memandang penuh murka pada Bonar yang kini menggoreskan deretan abjad pada kertas sketsanya.

"Perkara kentut—yang membuat rembulan lenyap dan aku sesat."

"Masih saja bisa berdalih. Sok kepedean! Kentutmu menyebalkan!" Ia menggerutu membelalakkan mata.

"Kentutnya saja, bukan?" Ia menambah ketebalan aksara yang ia ciptakan. Pada kata 'rembulan'.

"Sinting! Aku lapor sama Bu LIN aja. Lihat kamu."
Ia mengambil sikap berlari ke luar kelas. Lelaki itu menahan tangannya.
Refleks, langkahnya tertahan dan ia menampar wajah tampan itu.

***
Butet melangkah pelan menuju rumah mewah itu. Memasuki koridor demi koridor. Taman di kedua sisi membuatnya kikuk sulit menemukan percaya dirinya.

Ia tiba di pos satpam.
"Siang, Pak! Bisa saya bertemu Bonar?"
"Bonar lagi sakit. Ia mungkin akan menolak berjumpa denganmu. Ia akan di bawa ke Adelaide. Ia akan dirawat di sana." Satpam itu tersenyum seadanya.

"Aku ingin ketemu. Saya minta tolong pak ini penting sekali." Gadis berparas cantik itu mengiba.

"Baik. Tunggu sebentar, saya akan tanyakan!"

Satpam itu berkomunikasi, sepertinya pada rekan satpam lainnya. Menanyakan kesediaan Bonar.

"Duduk dulu Tet!" Ia sepertinya sudah mengenal gadis itu. Mendampingi Bonar ke sekolah sepertinya membuatnya mengenali teman-temannya juga.

Lalu, ponsel satpam itu berdering.
"Suruh dia masuk."
Sebuah suara yang nyaris membuat Butet melonjak.

"Ayo ikut saya!" Satpam itu membawanya ke arah belakang.

"Maaf, bapak tau nama saya sepertinya."

"Yah. Begitulah."

"Saya merasa senang, Pak!"

"Semua orang di rumah ini kenal denganmu, Tet!"

Butet terperangah mendengarnya. Dan seketika itu juga ia menyadari ia memasuki sebuah galeri lukis dan seluruh lukisannya adalah seorang gadis—dia. Dalam versi berbeda. Ada yang menjadi malaikat. Dan yang paling memukau wajahnya dalam sebuah benda bulat penuh bintang—rembulan.

Ia dituntun memasuki ruangan di dalam gallery tersebut.
Memasuki ruangan yang beraroma rumah sakit.
Steril dan dingin.

Seorang anak muda—Bonar tampak berusaha menyeimbangkan tubuh di posisi duduk. Seorang bodyguard menahan dari belakang.

Bonar tampak tegang.
Demikian Butet. Ia tak menyangka Bonar begitu memujanya. Ia ke mari karena merasa bersalah itu saja. Gara-gara perkara kentut itu, Bonar dipanggil ke kantor Bu Lin dan sejak itu sampai hari ini Bonar benar-benar tidak masuk sekolah.

Fakta lain terungkap dan membuatnya tertawan. Ia menatap Bonar yang tersenyum dengan wajah yang masih pucat.

"Bon ... maaf, aku tidak tau kamu sakit." Ia merasa bersalah.

"Gak apa-apa ...."

"Kamu sakit apa?"
Ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya. Entah apa. Dan tiba-tiba ia menangis.

"Kamu kok nangis? Sini! Kemarilah!" Ia membuka tangannya.

Butet mendekatinya. Untuk sebuah perkara yang tersampaikan tanpa penjelasan, Butet menghambur ke pelukan Bonar.

"Maaf, aku tidak tau sebelumnya ...." ia membenamkan wajahnya dalam dada kekar itu.

"Apa?"

"Emmm ...."

"Apaan?"

"Kalau kamu menyukaiku ....!"

"Oh ....
Wait, kamu tau dari mana aku menyukaimu?"

"Sudah ah, jangan jahil melulu. Aku terharu. Itu saja!" Butet tidak mampu menyembunyikan  rona peach pada kedua belah pipinya.

"Berarti kita pacaran?"
Sebuah tanya yang membuatnya merasakan pipi itu berubah menjadi panas. Ia tertunduk malu. Jauh di sana, ada gejolak yang sulit ia kendalikan.

"Kog diam? Kamu gak mau pacaran sama aku?"

"Bukan. Bukan itu ... aku—"

"Cukup. Gak perlu dijelasin. Sini, sini mendekat ...." Bonar menatap gadis itu. Tepat pada kedua bola matanya.

"Trimakasih ...."

"Em, untuk apa?"
"Sudah mau jadi pacarku."
"Tapi, aku—"
"St ... sudah. Jangan bawel."
"Ihh, kan! Kamu selalu jahil sama aku!" Butet kesal.

"Maaf sayang. Tapi aku sayang kok." Bonar tersenyum.

Ada kebahagiaan tersendiri yang ia rasakan. Sebelumnya,ia begitu membenci lelaki itu. Selalu menjadi trouble maker untuknya. Ternyata itu karena lelaki itu menaruh hati padanya. Tanpa penjelasan ia memahami itu. Dari masa lalu, dari foto-foto itu.

"Tet ...."

"Ya ...."

"Maaf, perkara kentut itu akan segera rampung."

"Maksudmu?"

"Aku sudah operasi. Itu tidak akan terjadi lagi."

"What?"

Keduanya lalu tersenyum lalu sama-sama tertawa renyah. Perkara kentut akan dilupakan. Aromanya tidak akan mengukir benci (lagi).

Komentar

  1. Lucu, unik....ku suka. Banyak belajar dari cara penulisan sebuah percakapan di tulisan ini

    BalasHapus
  2. ahahaha sangat menggelitik aduh baru kali ini baca cerita lucu di ODOP ahihi. Selvi tunggu postingan selanjutnya kak

    BalasHapus
  3. Perkara kentut,, menginspirasi pisan,, kentut jg bisa dibuat cerita,, keren

    BalasHapus
  4. Makasihh kakak-kakak semua ;) i lopelope you all pulll dehhh :p

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS