Sengketa Rasa Part 2

Aku merah. Menyala bahkan membakar. Mawar yang benderang kala gelap mencuri mimpi. Siluet-siluet tajam yang menelan semena-mena.

Aku karang. Teguh melawan badai. Tapi aku luluh pada suatu hal. Takut jika harus menjauh darinya. Aku haus.

So thirsty ... if only i can push away the differents becomes one.
Thay said im just dreaming along the day. Nonsense! Who cares about that. So thirsty ....

Aku suka Mozart. Ia membuatku sedikit belajar tentang keanggunan. Kata ibu, begitulah memang seorang perempuan harus anggun.
"Mozart itu bagaikan rok sepan.  Ibu mau kamu menggunakannya. Kamu terlalu idealis tanpanya." Ibu berucap lirih sambil membelaiku. Ia berharap transfer energi lewat sentuhan itu membangunkan jiwa kelembutanku. Aku tersenyum. Sedikit lebih anggun. Ya, aku mencobanya. Tetapi, raut wajah ibu menyatakan aku tidak sungguhan. Aku tetap perkasa. Ia menunjukkan wajah resahnya.

Ibu itu bagaikan pulm. Keanggunan yang sederhana tanpa tampilan ruang yang sulit diguratkan. Anak kecil saja bisa melukis sketsa relung bulat bukan?

Ibuku itu sekilas biasa saja. Orang-orang hanya memanggilnya sekadarnya saja pada situasi kebersamaan. Ia kalem. Teduh. Pendiam dan tentu saja sulit ditebak. Pulm yang kerenyahan dan elegi nikmat menawan di dalam buahnya. Bulatan-bulatan mungil yang menawan. Purple. Feminis. Erotis. Tapi kalem menghanyutkan. Ia bijak namun selalu resah kala mengingat umurku.

29 angka cantik yang merefleksikan aku seperti apa. Kematangan, pekerjaan, keteduhan? Ya! Aku memiliki semua impian ibu. Aku bekerja di BIN. Menjadi ASN yang bisa membuatnya tersenyum. Aku akan membonceng ibu dengan sepeda motor besar. Meratakan jarak menjadi sejari. Ibu sering bangga saat ia tiba di pasar subuh lebih dini. Ikan-ikannya akan habis cepat. Itu karen ia didampingi putri sepertiku. Senyumnya adalah duniaku. Seluruhku. Sudah cukup ia ditempa kemelut. Jangan lagi.
Lalu, kini rok sepan dan keanggunan membuatku menjadi durhaka. Aku mencoba. Tapi aku bahkan tak tau bagaiman berpura-pura menjadi seksi. Aku bahkan tidak bisa memakai stiletto yang kusembunyikan di bawah tempat tidurku. Sepatu anak perempuan pertama yang berjejer di antara sepatu skets dan sepatu gunung sporty ku yang lain. Entahlah ... malam ini aku akan bertutur pada sahabatku—rembulan. Mau bersama? Silahkan. Aku menunggumu,selalu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS