Thrid day ngodop

Judul: Jamilah—pulangnya seorang idola.
Penulis : Erlina Siahaan

Geger. Kampung Berbunga riuh dini hari ini. Mak Betty meraung menghardik semesta. Raungan yang mampu memutus tali mimpi dan lelap para tetangga. Mereka menghambur tanpa sebuah pembenahan tampilan demi mendengar
"Jamilah ... bangun! Jangan mati ... Jamilah! Jamilaaaaahhhh ... tolooooooong! Tolooooong ... kemari, siapa saja!
Huuuu ... uhh ... Jamilaaaaaah ...."

Beberapa orang segera memasuki rumah. Memastikan ketakutan yang menimbun reka praduga saat mendengar dentuman pekikan Mak Betty. Uccok menerobos keramaian, hingga tepat di hadapan sesosok tubuh yang sudah kaku. Tubuh itu kini pucat. Tanpa tatapan, tanpa senyuman, tanpa sapaan. Tanpa semua yang biasa ia punya selain kecantikan yang masih menyisakan pilu. Uccok tersungkur di tepian tempat tidur. Beberapa warga histeris mengguncang-guncang tubuh Jamilah. Saling berpelukan lalu saling meluapkan kepedihan yang menyayat. Seorang dara serasa ibu untuk mereka sudah pergi. Seorang dara serasa kekasih sudah tiada. Seorang sahabat rasa kekasih sudah pergi. Seorang pahlawan sudah gugur.

Uccok meremas seprai tempat tidur hingga koyak. Ada getir terselubung dalam dadanya. Ia lalu mengalihkan pandangan pada Mak Betty, memeluk wanita itu lalu sama-sama menikmati sedu-sedan tanpa birama beraturan.

***
Jamilah duduk di tepian kantor yang tak kunjung buka itu.
"Mil, kita pulang sajalah, besok kita ke mari lagi." Gundaba meringis kepanasan. Peluh di keningnya merayap melumuri lehernya yang berselimut debu. "Sabar ... mereka pasti datang." Ia tersenyum simpul sambil merapikan rambut panjangnya yang berjuntai tak teratur dalam simpul karet gelang. Rambut indah yang hampir selutut. Begitulah kaum  Bangsawan Berbunga. Rambut panjang adalah ciri kekuatan dan kharismanya.
"Berbunga harus merdeka. Kita sudah terlalu ditindas di Negara Parlamen ini!" Jamilah tak berkutik dari tempatnya berdiri. "Kita belum makan Mil. Nanti warga pada marah jika kamu sakit. Ayolah kita pulang dulu." Jamilah tak mengubris. Lalu kantor itu dibuka. Petugas mengintip mengintai suasana dari balik jendela kantor. Saat itulah Jamilah berlari ke dalam kantor.
"Apa keperluan anda?" Petugas bergelagat kurang bersahabat.
"Kami perlu sekolah dan puskesmas, Pak!" Wanita itu sedikitpun gentar pada netra yang siaga ingin menelan iris lengkap dengan pupilnya. Persetan.

"Dananya sudah habis untuk pengadaan air bersih dan penginstalan listrik ke setiap pemukiman." Ia mulai menyatakan tendensi penolakan dengan tatapan fokus yang berlebihan hingga melotot.
"Kami tau, dananya cukup untuk mengaspal jalan bahkan membuat trotoar berlampu-lampu. Kami gak menuntut lebih, kami hanya mau anak-anak sekolah dan ada puskesmas untuk menunjang kesehatan. Itu saja, Pak ... tolonglah kami, Pak."

"Lusa datanglah kemari, tanpa rekanmu!" Petugas itu segera keluar kantor dan melesat bersama Honda Jazz metaliknya.

***
"Tidak mungkin kami membiarkanmu ke sana sendiri. Kami akan menunggu di luar kantor." Seorang warga tampak sangat risau.
"Iya, itu betul ... siapa yang akan memimpin Berbunga jika Jamilah hilang seperti Anny?" Rhoma berkomentar. "Ibu sudah tenang jangan diungkit. Kita percaya beliau sudah meninggal. Ia sudah meninggal." Jamilah tampak seolah memberi kepastian pada sebahagian raga pada dirinya. "Milah, kami hanya memilikimu sekarang. Biarlah kami besok ke sana."
Keesokan harinya warga mengintip dari delapan penjuru angin—memastikan Jamilah aman selama di dalam kantor. Jamilah kesulitan mendapatkan hak yang ia perjuangkan. Lalu, ia mulai mengancam dan menghardik. Membuka sebuah aib jika tidak disetujui. Petugas hanya tersenyum sambil menggertakkan kedua rahangnya. Sebuah propaganda yang akan berakhir. Tidak! Ia penguasa di daerah. Otoritas intern adalah haknya.
Ia lalu memainkan sebuah drama pengalihan sampai Jamila mempercayainya dan pulang dalam kabar sukacita yang ia timbun ?

***
Uccok merasakan kedua kakinya melemah, ia baru sadar, susu pemanis yang katanya akan membuai Jamilah sehingga tergila-gila padanya tak lain dan bukan adalah penyebab kematian Jamilah. Di tengah isak pilu warga, ia berlari ke sebuah kantor di sebrang. Petugas itu telah menjajanya pada pintu kematian dan kesengsaraan Kampung Berbunga

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS