Jatuh Rasa

Aku melupakan kejadian itu begitu saja. Tetapi satu yang menjadi kesalahanku,aku juga lupa, bahwa ada yang mungkin saja masih mengingat bahkan mengumbarnya bagaikan jajanan udara yang dengan rakus dilahap oleh semua orang. Semua orang, tanpa terkecuali. Aku lupa itu, bahkan tidak pernah membayangkan mimpi buruk dan bencana yang dengan runtun berparade bagaikan drama kolosal dramatik yang berlatar kepedihan dan berakhir dengan harapan sebuah kejatuhan, keterpurukan bahkan mungkin peniadaan diri. 

Bunyi bel rumahku bersahutan dengan bunyi yang mentransfer kemarahan seseorang di balik pintuku. Menekan dengan bertubi-tubi tanpa peduli betapa mengganggunya bunyi kemarahan, buru-buru, dan emosional yang ia timbulkan.

"Dia lagi!" ujarku sambil menatap skeptis pada layar monitor penghubung ke depan pintu. Langkahku dengan murka berjalan sangar ke depan pintu. Andaikan aku punya taring di ujung kakiku, kupastikan ia sudah merapat menggertakkan bunyi emosional. 

Pintu segera kubuka.

"Apa lagi? Bukankah semua sudah jelas?" aku mengabaikan wajah merah padamnya.

"Hei, sialan! Kau menabrak lari adikku dan kamu mau melarikan diri begitu saja? Katakan! Seberapa besar uangmu, seberapa banyak kolega hukummu, aku tidak peduli. Kamu harus meminta maaf." Ia memburu dengan emosional. Rambut panjangnya seolah ikut murka. Tergerai memberi ancaman di balik legamnya tampilannya.

"Hei! Kalau dia tidak di depanku kecelakaan itu tidak akan terjadi. Bagaimanapun, itu terjadi karena kedua belah pihak ada. Aku juga tidak menginginkan kecelakaan itu, tapi kami harus menghadapinya. Lalu, atas dasar apa sebuah dosa bersama harus dilimpahkan ke sebelah pihak? Common madame, be wise! Yang penting dia selamat. Itu yang harus kamu tau. Jangan berharap aku bayar ganti rugi. Kebiasaan buruk orang kebanyakan! Berharap sebuah celaka bisa memberinya keuntungan—"

"Biadap! Baiklah saya akan melaporkanmu sekarang juga kepada pihak berwajib!" Ia memotong ucapanku. Lantang sekali wanita ini. Dengan bermodal jalan kaki ia berani berkoar di depan rumahku. 

Ia berlalu dengan cekatan menjauhiku yang masih mematung. 

Huft, bagaimanapun itu memang kesalahanku. Mengemudi dengan kecepatan tinggi dalam kondisi mabuk. Dan adiknya di jalurnya. Aku yang lari jalur. Aku yang lari. Ini bahaya!

"Hei ... hei kamu!" Aku setengah berlari ke arahnya. Langkah tergesanya begitu cepat. Ia mengabaikanku. 

Segera kupaju lariku. Kutarik lengannya, mau tak mau dia berhenti. 

"Kamu maunya apa?"

"Sialan! Udah salah ngeyel lagi. Kamu kunjungi adik saya! Minta maaf dan hargai sisi kemanusiaan yang ada padamu. Dasar!"

"Baik! Oke jika itu mau kamu! Asal kamu tahu aja, ya! Kau gak kan pernah bisa memerasku gadis kampung!"

Ia tertegun. Menatapku dengan lekat, "Sepertinya, harkat dan martabatmu adalah sebatas harta yang kau pikirkan bisa membusungkan dengan dadamu. Kau tau, kala mati datang menjemputmu, hartamu tidak akan pernah bisa berbuat apa-apa! Lihat saja!"

"Oke! Oke! Sekarang mari kita ke rumah sakit Aku menyeretnya ke arah mobilku.

Ia menepis tanganku. 
"Aku bawa mobil di depan." Ia berlalu meninggalkanku terbengong dalam kikuk yang mematikan. 

Ia bersiap melaju. Klaksonnya nyaring memecahkan dada dan lamunanku. Ia berharap aku mengikutinya. Aku nurut, tanpa perlawanan. Nyaris penuh dengan malu. Aku tiba-tiba jadi peduli tentang penulaiannya padaku. Tentang merahnya wajah di depan pintuku selang beberapa menit yang lalu. Aku kehilangan kemanusiawianku di hadapnya. Aku jadi malu. 

*bersambung

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS