Mural Cinta Ibu 1

Hari ini ia kembali ke rumah. Seperti biasa—hampir subuh. Tak ada sapaan.
Tak ada cinta apalagi nafkah.
Aku tetap dengan lelapku, walaupun tak sungguhan. Jika aku berkomentar, aku takut lagi-lagi adu mulut kami hanya akan menghasilkan kebuntuan dan Piter akan terisak memeluk sebelah pahaku. Ia menemukan kehangatan di sana. Berurai air mata dan dia akan memaksaku menggendongnya dan wajah ovalnya akan dibenamkan lama-lama di dadaku.

"Ma, jangan ribut lagi sama ayah ... biarin aja ayah pulang, atau ngak pulang sekalipun. Tidak apa-apa, asal aku dijagain mama." ucapan putraku kemarin masih terlintas jelas.

"Kau tau, Nak! Kadang lelaki dewasa itu tak ubahnya seperti perahu rusak yang mengambang. Seperti berlayar padahal terkapar. Seperti hidup padahal mati." Aku mendoktrinnya. "Tapi kau tau, itu hanya dilakukan lelaki yang seharusnya memakai rok. Atau bahkan tidak layak menggunakan rok ataupun celana. Telanjang mungkin akan lebih baik. Lalu, ia akan dikejar-kejar kambing bandot dan ia akan memilih mati saja. Hahaha ...." tawaku pecah.

Ia ikut tertawa, "Hahaha ... aku tidak akan menjadi lelaki begitu, Bu. Aku akan menjadi tuan kambing. Memelihara mereka sampai padang ternakku sesak karena kambingnya kebanyakan." Ia berkisah dengan semangat. Kilatan-kilatan mimpi tersembur memenuhi ruangan kami. Dan, ia tersenyum penuh cinta padaku.

"Bagus! Ibu berharap semua kambingmu adalah kambing bandot. Biar ayahmu kapok, Nak!" Aku makin semangat berkisah padanya. Ia tergelak dan akhirnya terdampar di paha kananku—Ia lelap. Tidur malamnya terganggu. Jadi sepertinya kantuknya sangat kuat dan ceritanya gantung di gemilau ruang imajiku. Ia akan melanjutkan kisahnya, secepatnya.

Dalam hitungan menit, dengkurnya mengiringi lelapnya. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Putraku sudah besar. Lalu, sanggupkah aku menyekolahkannya sehingga ia tidak sama dengan ayahnya?

Guratan keluguan menari-nari di wajahnya. Membesitkan keresahan dalam dadaku. Ia butuh ayah, tetapi bukan bajingan sepertimu. Bukan!

Kutemukan kekuatan dalam jiwaku. Aku harus bisa! Esoknya ada di pundakku. Kubaringkan dia di dipan tua di sudut kiri kamarku. Ia masih lelap. Kuharap ia bertemu peri-peri kebaikan. Mengajarinya tentang kebaikan layaknya aku melakukannya kala sadarnya.

Tidurlah nak. Biarkan semesta kugauli demi esokmu.
Tidurlah, kan ku ayun cangkulku berseru pada pintu-pintu surgawi.

Aku berlalu, mengumpulkan perkakasku dan menuju ladang.

Aku akan menanam bibit jagung pada lobang-lobang yang sudah kubuat tadi pagi. Piter akan baik-baik saja.

Sang surya mulai meredup. Ia tau, teriknya akan memanggangku. Aku berjalan tergesa. Angi sepoi-sepoi menguapkan keringat di balik baju tipisku. Cahaya senja seolah memayungiku dari radiasi ultraviolet. Aku terus melaju. Sayup-sayup suara gitar dan nada-nada para lelaki di lapo terdengar makin jelas. Aku memang akan melintasinya. Kedai tuak atau lapo tuak, rumah kedua suamiku. Tidak! Tidak! Lebih tepatnya rumah pertamanya.

Janda berambut blonde. Pemilik kedai tuak mulai memenuhi seluruh indranya. Ia tergila-gila pada wanita binal itu.

Aku tak berkisah untuk mengeluh. Itu sudah menjadi masa lalu yang suram. Tak harus kukeluhkan. Aku berharap aku adalah janda dan aku sendiri membesarkan Piter. Itu jauh lebih baik. Setidaknya aku tidak lagi menumpahkan samudra ke jagat raya ini.

Lagu itu makin kuat. "Demi kau dan sibuah hati, terpaksa aku harus begini ... sejujurnya aku katakan, tiada satu selain dirimu ...."

Setan-setan alas!

Aku terus melangkah. Sekilas kuperhatikan, perempuan berambut pirang blonde itu merapatkan barisan tepat di sampingnya. Ia melihatku. Lalu kembali fokus pada kartu leng di hadapannya. Ia bukan suamiku. Ia setan. Laknat!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS