Tirani dan Cinta (Episode 3)

Semua terasa kian mencekam. Hutan yang angkuh dan seolah menghantuiku lewat jalinan belukar yang beronak duri, dedaunan yang berkelebat mempertontonkan sebuah parade kesunyian tiada mengenal sebuah kebersaman. Bukan dengan kedatanganku. Sang pohon terdiam dalam sembilu. Hutan tak lebih dari sebuah kutukan masa lalu yang akan terus memutar menyaksikan parade sakramen upacara penyerahan dan pemujaan pada Sang penjaga. Kata mereka. Persetan dengan itu. 


Akan kutunjukkan bahwa Penjaga bukanlah Tuhan. 

Aku tau, aku hampir tiba. burung-burung hantu bertebaran kian tebal. Berbondong-bondong mencari suaka. Mereka butuh kehangatan, sebuah rumah untuk menunjukkan dunia tidak soal berjaga sepanjang malam dan mengabdi pada semesta dengan menjadi pejuang-pejuang malam tanpa penghargaan—cinta dan kehangatan. 

Aku menerobos hutan kian jauh. Melewati kawanan burung hantu tanpa gentar. Mereka terdiam. Memandang angkuh dan aku tau mereka adalah mata-mata di pinggiran kawasan yang harus kutembus cepat.
Surti! Tunggu abang datang!

Seekor burung hantu bergerak cepat. Menangkap bayanganku dan mengkodenya dalam rekaman yang sudah diinstal dalam isi kepalanya. Aku terbang. Melesat seketika dan menangkapnya dari belakang. Ia terkesiap, sayapnya menggelepar kuat. Ini tenaga seekor gajah. Kuremas dia sekuatku. Ia histeris. Akhirnya kaku tak bergeming. Kujatuhkan benda itu. Bukan burung sungguhan. Mereka adalah kawanan penjaga untuk Sang penjaga.

Aku tau, kedatanganku sudah dideteksi. Jauh sebelum aku menembus kawanan penjaga. Persetan. 

Aku mendarat mulus. Tanpa suara. 

Kepekatan tak membuatku kesulitan mendeteksi sekelilingku. Nyai Laras pasti akan sangat kagum pada kekuatan mataku. Ia berhasil menitipkan ilmu padaku. Semoga kelak pada bayi-bayiku yang akan lahir dari rahim Surti juga. 

Sebuah kawasan seperti kota terlihat di tengah hutan dalam ini. Aku termangu. Inikah Kota Kematian?


Siapa saja yang memasukinya tanpa undangan akan mati. Siapa saja yang datang diam-diam akan disekap, aku tak peduli. Mereka mengundangku secara tidak langsung.

Aku segera menyelinap gesit ke balik pohon-pohon raksasa saat tiga orang penjaga yang beronda itu melewati perbatasan Kota Kematian. 


Penjaga itu tampak saling bercakap-cakap. Dengan bahasa aneh. Bukan bahasa yang pernah kudengar. 

Penjaga yang di tengah tampak kian semangat berkomentar. Tekan di sisi kirinya tampak terbebani dengan rompi baja dan topinya yang seperti menekan tubuhnya ke bawah. Ia pasti baru diculik dan didoktrin menjadi pengikut tanpa ingatan. Tanpa nalar dan tanpa perasaan. Ia tersenyum perih. Menyambut cerita rekannya. Ia bisa terancam jika tidak berlaku demikian. Penjaga di sisi kanan tampak bersahaja. Ia mendengarkan tanpa komentar, tanpa sebuah perlawanan juga tanpa apresiasi. Ia sepertinya mati rasa. Lalu ia tertawa hebat. Mengucapkan untaian kata aneh bernada tinggi. Kedua rekannya terdiam seketika, lalu mereka bertiga terbahak-bahak bersama. Lelucon yang sangat tidak lucu. 

Tunggu! Dia terdiam dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, ke arahku. Ia sepertinya menyadari kehadiranku. Ia pasti ketua kelompoknya. Instingnya sangat tajam. 


Ia mengisyaratkan kedua rekannya diam dan menunggu. 
Ia mendekat ke arahku, aku tetap mengintai di balik semak  tepat di sisi pohon besar. Tak bergerak. Ia maju, mengendus dan matanya bercahaya merah menyala. Ia menyalakan sensor untuk mendeteksiku. Segera kututup tubuhku dengan jubah pemberian Nyai Laras. Seketika aku merasa aku bisa menyatu dengan angin. 

Pergunakan kala musuh mendeteksi kehadiranmu, dan kau akan akan menjadi angin. Seru Nyai Laras kala melemparkan jubah ini saat melepas kepergianku untuk menjemput Surti—Putri semata wayangnya—kekasih hatiku. 

Sialnya ia terus mendekat. Lalu berhenti tepat lima langkah di hadapanku. Tetapi sepertinya ia tak menemukan bayanganku dalam sensornya. Ia mengendus-endus kian cepat. Dadanya naik turun pertanda mencium aroma tubuhku. 

Sekarang!

Kuacungkan sebuah pukulan dengan kedua telapak kakiku tepat di bawah perunya. Kedua tanganku mendaratkan totokan di lehernya dengan tepat. Ia terjatuh. Kaku. Sensornya memudar dan mati tanpa menangkap bayanganku.


Aku maju beberapa langkah dan menyelinap di balik pohon tepat di belakang kedua penjaga yang tersisa. Mereka kembali berakap-cakap aneh, mereka sepertinya mempertanyakan kepergian rekannya yang tak jua kembali. 

Mereka maju bersama dengan siaga dan nyaris tanpa suara. Sangat gesit. 

Aku siaga, memasang kuda-kuda dan siap menerjang dalam kepekatan malam.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS