Tirani dan Cinta ( Episode 4)

Kedua penjaga itu melangkah kian menjauh dari perbatasan. Melewatiku hingga beberapa langkah ke belakang. Dasar bodoh!

Lalu, ku terjang  mereka masing-masing dengan kedua kakiku, sekaligus. Mereka jatuh ke tanah. Berbicara aneh. Lalu saat kuda-kuda berdiri masih diatur segera kuterjang kedua tubuh itu tanpa ampun. Mereka terkulai lemah. Tafakur tak bergeming di atas tanah. Kupacu langkahku memasuki kota itu. Bangunan-bangunan beraksen britania modern berwarna gold dan putih bertabur mewah. Lampu-lampu jalan memancarkan kengerian tiada tara. Sebuah cekaman atas kota yang bagaikan kota mati. Yah! Inilah Kota Kematian. 
Motif gila mendasari tuannya menciptakan ini. Mengurbankan wanita-wanita cantik untuk Sang penjaga. Katanya, itulah penopang kesempurnaan. Penopang kejayaan, walau harus bergelimang dosa. 

Derap sesuatu kian mendekat. Aku kebingungan bersembunyi. Kota ini terlalu angkuh untuk sebuah persembunyian. Kupacu lariku memasuki sebuah balkon luas. Menyatu dengan dinding-dinding tepiannya. Mengarah ke belakang. Namun, tak jua kutemukan dinding penyiku bertanda aku bertemu akhir. Gila! Bangunan apa sepanjang bermil-mil begini?


Aku harus memanjat!

Kuhentakkan kakiku ke bumi. Aku terbang kian ke atas. Hingga sesuatu menahan tubuhku. Aku berkelit, menoleh ke belakang, namun  tak jua sesuatu selain bayanganku di bawah lampu-lampu bersorot angkuh. Sesuatu menahanku. Mencuri keseimbanganku dan aku melayang tak berdaya. 

Kupejamkan kedua mataku. Kufokuskan membaca Kitab Terrossh sumber kekuatanku dalam kekakuan yang kian menjalar di sekitar anggota gerak bagian bawahku. Siapakah iblis sekuat ini?


Kubaca diadore o ibukha ta! pargogoi! Pargogoi ma au! Bukka ma sabuk ni akka haholomon patiur ma akka dalan hangoluan. Ramoti au! O diadore diadore! 


Whust! Hust .... 
Angin bertiup kencang. Terbelah dua! 

Saling menggulung dan saling beradu. Mencabik dalam hampa dan menerjang kian gesit. Lalu, angin barat menerjang jauh terlontar menampar-nampar semak belukar ke tepian perbatasan. Bagai kalah bertarung dan tewas. Menguap bersama dalam keheningan malam. Aku terjatuh. Terpelanting keras. Ambruk!

Segera ku atur keseimbanganku, berdiri dan kembali melesat di antara atap-atap raksasa. Ini kota yang sangat menawan dan aku tidak boleh tertawan. Segera para kawanan penjaga berjejer mengitari seluruh kota.

Gila! Ini bagaikan kawanan siap perang memusnahkan seluruh jagat. Formasi lengkap dengan barisan berlapis-lapis. Aku tiarap di antara atap. Berusaha menyatu dengan atap bangunan. Ah! Begini lebih baik. 

Seseorang memasuki bangunan yang lebih mirip seperti podium. Dua ekor gajah berdiri di kedua sisinya. Ia berbahasa aneh. Memberi aba-aba penuh beringas. Ia tengah murka. Lagaknya ialah angin yang terhempas ke semak di tepian hutan barusan. 


Semua terdiam. Ia berkata-kata aneh penuh ambisi. Lalu, tiba-tiba ia memandang ke arah bangunan yang lebih mirip sebuah menara. Bangunan tertinggi di kota ini. Mencoba menangkap sesuatu dengan mata bulat hitamnya mencari-cari sesuatu. Mencariku. Aku kian menjatuhkan seluruhku menyatu dengan atap. Kapan saja ia bisa terbang ke arahku. Aku harus cepat. Tetapi tidak sekarang. Ia tengah memandang penuh mawas ke arahku. Sialan! Ia begitu waspada. 

Ia lalu kembali berbicara. Aku segera berkelebat gesit. Semoga tidak terdeteksi. Seorang panglima perang mengambil alih posisinya dan ia segera menyelinap masuk ke dalam bangunan raksasa yang mewah bagaikan sebuah kastil. 


Aku harus cepat!

Cinta dan Surti jika di takar adalah sebuah harmoni yang mengalir di sekujur nadiku. Mendetakkan jantungku dan membuatku bernapas. Aku terbang. Harus melesat bersama malam. Aku mencapai sebuah bangunan seperti yang dipaparkan Nyai Laras. Surti ada di dalam. 

Sabarlah Surti. Calon ibu dari anak-anakku. Sabarlah. Buailah rasa takutmu dengan cinta yang kita ukir kala engkau bergayut di dadaku. Sejuknya sore kala kita bersenda di surau belakang rumah. Kala semesta tafakur memandang kita saling bercumbu seolah dunia milik berdua. Sabarlah. Aku datang kala pekat adalah musuh. Kala malam kian terik. Bersabarlah!


Pintu ke tujuh setelah gerbang penghubung ke menara. Segera kutemukan. Kutelusuri gang menganga lebar nan megah itu. Melesat tetap dengan kecepatan cahaya. Sensor cahaya ada di mana-mana tanpa jubah Nyai Laras aku mungkin hanyalah sebuah masa lalu dan Surti akan menyusulku dengan cepat. 

Aku berlari memasuki sebuah ruangan yang lebih dalam. Lebih landai dari lantai di sekitarnya. Menuju ke dua arah pintu raksasa tanpa penjaga. Tunggu! Aku seperti merasa ini terlalu janggal. Apakah aku terdeteksi? Mereka mentamatiku dengan geli di balik layar di sebuah ruangan? 

Oh, tidak! Jangan bercanda! Nyai Laras ahli sulap menghilangkan apapun dari sensor sepasang bahkan seluruh netra yang pernah ada. Andai jubah ini berkhianat saat ini itu adalah kemustahilan. Surti adalah bagiannya.


Aku memutar ke kanan. Sesai arahan Nyai Laras. 

"Selamat datang Jontras! Aku sudah menunggumu. Kamu terlalu lama. Kukira kamu jauh sebelum subuh akan datang." Suara itu bergema. Tanpa menunjukkan pemiliknya. 

"Aku tau kamu akan tiba. Tapi kamu tidak akan pernah sampai di bilik upacara anak muda!" suara itu berhenti diikuti gema yang memantul-mantul di dinding tanpa peredam suara itu. Aku siaga. Inilah waktunya.


Segera kusibakkan jubahku. Kakiku bergetar hebat. Aku akan sepertinya. Menyerupai Sang penjaga. Kelebatan cahaya merah menyala melingkupi tubuhku. Sekujur tubuhku bergetar. Kulit wajahku berganti baja berlapis tujuh. Rambutku tertutup rapat di balik sebuah lempeng yang lebih mirip topeng yang hanya menutup wajahku bagian atas. Dari hidung tegasku menutup kebagiaan atas menutup tengkorakku dengan sempurna. Ini maha karya Nyai Laras yang setia mengawal misiku kali ini.

"Wow! Nyai Laras pasti sudah berlatih selama lima puluh tahun setelah terusir dari sini. Ha ... ha ... ha ....!" Ia tertawa kian nyaring. 
"Keluar dan hadapi aku!" murkaku memuncak. Aku kemari bukan untuk bertata krama. 

Sekelebat bayangan ungu berkelebat sangat cepat. Menuju ke arahku. Mendarat dengan manis tepat di hadapanku. 

Sesosok wanita bergaun ungu namun aku tau tubuhnya berlapis baja dari lengan dan tangannya yang tidak tertutup gaun itu. Gaun yang panjangnya menjuntai hingga ke lantai namun tanpa lengan. Wajahnya memancarkan kecantikan yang tiada tara. Inilah iblis yang mampu menerawang apa saja. Memikat apa saja dan semua ada di matanya. Aku tidak boleh menatapnya. Segera ku tutup mataku membacakan mantra, kubaca diadore o ibukha ta! pargogoi! Pargogoi ma au! Bukka ma sabuk ni akka haholomon patiur ma akka dalan hangoluan. Ramoti au! O diadore diadore! 

Waktuku kian menipis. Aku kehabisan basa-basi. Surti akan kehilangan ingatan jika pagi menjelma.
Inilah saatnya.

Jurus sejuta diri!

Tubuhku menjadi sejuta. Sama persis. Mengelilingi seluruh ruangan. Arak-arakan prajurit berlapis-lapisnya menyusup cepat ke dalam ruangan. Pertempuran pecah. 

Ia menatapku erat. Mencoba menemukan fokus mataku. Ia gagal. Tetapi ia sungguh lihai. Ia tetap mampu terfokus pada aku yang asli. Segera ia menerjangku. Aku berkelit ke arah kanan. Tanpa jeda ia sudah mengibaskan selendang gaunnya ke punggungku. Aku merasakan sebuah hantaman yang amat kuat. Bagai dipukul dengan besi sekuat-kuatnya. Aku terpelanting ke belakang. Segera ku hentakkan tanganku dengan cekatan tepat di lehernya. Ia lengah. Tepat mengenai urat besarnya. Ia terkena totokku. Tepat! Para pasukan tempur masih bertarung. Seluruh aku bergerak gesit. Kusibakkan jubahku menutupi tubuhku. Aku harus cepat.


Matanya mengikuti kepergianku. Kubiarkan ia begitu. Kelak semoga saja ada yang mampu membebaskannya. Tetapi itu kemustahilan. Segera aku melangkah menuju ruang upacara. Surti tampak dibaringkan dalam sebuah meja persembahan. Ia mengenakan kain putih yang hanya menutupi auratnya. Ini kebiadaban!


Ruangan itu berukuran luas terhubung ke sebuah bilik tempat kurban akan dinikmati. Sang penjaga sialan itu memang seorang lesbian yang sangat buas. Lalu saat matanya menatap mangsanya saat malam upacara berlangsung tepat di dalam bilik. Maka semua hanyalah insan tanpa jiwa. Sama seperti para prajurit yang tumbang tanpa jiwa di luar sana. 

Surti setengah sadar. Ia menangis tanpa suara. 

Maafkan aku sayang! Kedatanganku terlalu lama!




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pidato Pembina Upacara: Pendidikan Karakter Zaman Now

Para pecundang cinta

HOTS